Gelaran Sumpah Adat untuk Cegah Hilangnya Hutan Adat Dayak Benuaq Muara Tae

Buldoser yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk membuka hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

Telepon itu berdering di tengah malam.  Suara Petrus Asuy tetua masyarakat adat dari Muara Tae, Kalimantan Timur terdengar dari ujung gagang telepon.  “Buldozer semakin banyak, mereka membongkar hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit, bulldozer semakin menggila,” jelasnya kepada Ruwi.

“Dapatkah kamu mengirimkan orang untuk membantu menjaga hutan Muara Tae?” tanya Asuy.  Ruwi menjawab dia tidak dapat memastikan, tetapi berjanji untuk mencari tahu.  Meskipun di dalam hatinya dia pun turut bimbang mendengar kabar situasi yang terjadi.

Ambrosius Ruwindrijarto, peraih penghargaan Magsaysay Award 2012, bersama beberapa orang voluntir lainnya saat ini sedang menggalang dukungan publik untuk mencegah hilangnya hutan alam yang menjadi mata pencarian suku Dayak Benuaq Muara Tae.  Di lapangan, deru buldozer masih menjadi ancaman serius keutuhan sisa hutan di wilayah sengketa.

Ketika sebagian masyarakat telah pasrah untuk menerima takdir, mereka berupaya untuk menerima realitas kehadiran perusahaan, sambil berharap perubahan berarti turut mengubah peruntungan ekonomi mereka.

Namun bagi Asuy dan sebagian masyarakat lainnya yang tergabung dalam Sempekat Pesuli Lati Takaaq (Sepakat Mengembalikan Hutan Adat Kita)/SPLT, mereka tetap kukuh bertahan menjaga tegakan hutan alam yang dimiliki kampung adat tersebut.   Bagi mereka hutan bukan saja ekosistem tutupan tajuk, tetapi bagian dari adat dan simbol keberadaan mereka.

Beberapa hari sebelumnya, Asuy dan kelompoknya menghentikan bulldozer yang sedang bekerja di selatan hutan.  Bulldozer berhenti setelah Asuy berbicara dengan operator mesin.  Di hari berikutnya para pekerja perusahaan kembali dengan ditemani oleh aparat kepolisian.  Asuy dan kelompoknya meminta mereka untuk tetap berhenti bekerja hingga pihak perusahaan setuju untuk melakukan proses pembicaraan dengan masyarakat Muara Tae.

 

Konflik masyarakat adat dan perusahaan. Masyarakat Muara Tae di Kaltim, menghentikan buldozer perusahaan yang beroperasi di wilayah adat, September 2012. Foto: Margaretha Seting Beraan, AMAN Kaltim

 

Gelar Sumpah Adat Tentukan Pemilik Lahan

Di luar proses hukum yang masih berjalan, kelompok SPLT berencana untuk menggelar acara Dayak Benuaq Berinuk (Dayak Benuaq Berkumpul) sebuah upaya transendental-spiritual untuk meminta petunjuk roh leluhur untuk menentukan siapa pihak sah yang berhak atas tanah tersebut.

“Rencananya dimulai sekitar tanggal 10 Mei 2014, hingga 64 hari kedepannya.  Tidak saja warga Muara Tae, tetapi lima kampung lainnya termasuk Muara Ponak diundang, pihak perusahaan hingga Bupati akan diajak bersumpah secara adat,” jelas Ruwi melalui telepon kepada Mongabay Indonesia.

Ruwi mengaku bahwa ia bersama para voluntir individu sedang membantu persiapan Ritual Sumpah Adat ini melalui penggalangan donasi dana secara individual.  Tidak saja dana, mereka juga melakukan penggalangan berbentuk upaya spiritual lewat doa dan meditasi.

Bagi masyarakat Dayak Benuaq, sumpah adat merupakan ritual sakral. Tidak sembarangan dilakukan, mereka percaya tulah dan hukuman bencana akan jatuh kepada pihak yang bersalah.

Dari target sekitar Rp 160 an juta, saat ini sekitar separuhnya terkumpul.  Biaya ini digunakan untuk membiayai pembelian kerbau, babi, ayam, konsumsi, mendatangkan benda-benda pusaka, pawang dan kehadiran para tetua. Dengan ritual sumpah adat dipercaya roh para leluhur akan memberikan petunjuk siapa pemilik sah lahan sengketa yang pada akhirnya akan memperjelas kepemilikan secara adat.

 

Warga Muara Tae mengawasi operasi bulldozer. Sumber: Indiegogo team

 

Konflik Lahan Muara Tae

Muara Tae, sebuah kampung komunitas suku Dayak Benuaq yang berada di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kaltim sejak bertahun-tahun tidak pernah tenang dirundung berbagai persoalan konflik lahan.

Dimulai sejak tahun 1971 ketika perusahaan HPH PT Sumber Mas membuka areal konsesi hutan di sana yang diteruskan dengan penanaman HTI.  Sejak tahun 1995 perusahaan perkebunan PT London Sumatra masuk disana yang berujung konflik dan penangkapan warga oleh polisi pada tahun 1999.  Selain konflik lahan dengan perusahaan sawit, di bagian lain bentang di Kecamatan Jempang juga telah berubah menjadi area konsesi tambang batubara yang konsesinya dimulai sejak keberadaan PT Gunung Bayan Pratama Coal sejak tahun 1993.

Pada tahun 2011, dua perusahaan sawit yaitu PT Munthe Waniq Jaya Perkasa (PT MWJP) dan PT Borneo Surya Mining Jaya (PT BSJM) beroperasi untuk membuka perkebunan sawit di lima kampung yang berada di kecamatan Siluq Ngurai yaitu Kenyanyan, Rikong, Kiaq, Tendik dan Muara Ponak.  Namun demikian blok hutan adat Utaq Melinau seluas 638 hektar yang terletak di perbatasan antara dua kampung yaitu Muara Ponak dan Muara Tae masih bersengketa.

Bagi masyarakat Muara Tae, wilayah tersebut dianggap masih merupakan bagian dari wilayah yang telah digarap turun temurun, mereka beranggapan lahan tersebut telah dilepaskan secara sepihak oleh masyarakat Muara Ponak kepada pihak perusahaan perkebunan.  Hingga saat ini, kedua komunitas bersikukuh bahwa blok hutan tersebut adalah bagian dari wilayah adat mereka.  Adapun blok hutan tersebut berada di sepanjang jalan yang dibuat oleh perusahaan kayu PT Roda Mas pada tahun 1978.

Pada tahun 2012, Bupati Kutai Barat mengeluarkan SK Bupati no. 146.3 yang menetapkan batas wilayah antara kampung Muara Ponak, Kecamatan Siluq Ngurai dengan kampung Muara Tae kecamatan Jempang.  Dalam SK tersebut, Bupati menyebutkan bahwa warga Muara Ponak adalah pemilik sah dari wilayah tersebut.  Tidak puas dengan keputusan Bupati tersebut, warga Muara Tae membawa persoalan tersebut ke pengadilan.  Kalah di tingkat pengadilan pertama, saat ini warga Muara Tae membawa persoalan ini ke tingkat kasasi.

Dalam wilayah yang masih bersengketa ini, salah satu perusahaan sawit yaitu PT BSMJ, pada tanggal 17 April 2013 mendapatkan surat dari Panel Pengaduan RSPO  (Roundtable on Sustainble Palm Oil) untuk menghentikan segala aktivitas di wilayah adat yang bersengketa, selama konflik lahan belum selesai.

Sejak surat tersebut, PT BSMJ telah menghentikan pembukaan lahan, meskipun masih beraktivitas dengan menanami areal yang  telah dibuka dengan sawit.  Forum RSPO sendiri merupakan forum internasional para pemangku kepentingan kelapa sawit dimana induk perusahaan PT BSMJ, yaitu First Resources, Ltd bergabung.  Di sisi lain, PT MWJP masih melakukan aktivitas pembersihan lahan menggunakan bulldozer di area yang disengketakan.

Hingga saat ini, masyarakat Muara Tae masih terus berupaya untuk mempertahankan sisa hutan di wilyah sengketa.  Mereka membangun pondok-pondok jaga di dalam hutan, melakukan pemetaan kawasan adat, menginventasir keanekaragaman hayati dan menyiapkan pembibitan jenis-jenis pohon lokal untuk merestorasi areal yang dulunya hutan.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Urgensi Perlindungan Hutan Bakau

Sejak 1980, Indonesia kehilangan lebih dari seperempat hutan bakaunya. Sisa 3,1 juta hektar tersebar secara acak di sepanjang 55.000 garis pantai, tempat yang cocok untuk bakau.

Hutan pantai unik ini melindungi wilayah garis pantai dari erosi. Bakau juga menyerap lebih banyak karbon atmosfer, penyebab perubahan iklim global. Ironisnya, hutan bakau sangat menderita akibat perubahan iklim, ketika tinggi permukaan laut naik menenggelamkan pohon dan mengubah salinitas pesisir pantai.

Tetapi perubahan iklim bukan musuh utama bakau saat ini. Deforestasi-lah musuh utamanya. Di Indonesia dan seluruh Asia Tenggara, sejumlah wilayah luas hutan bakau digunduli untuk membuat tambak ikan dan udang.

Deforestasi ini memperburuk penyebab perubahan iklim. Diperkirakan bahwa deforestasi bakau menghasilkan 10 persen emisi gas rumah kaca akibat deforestasi secara global, walaupun hanya mencatat 0,7 persen wilayah hutan tropis.

Urgensi hutan bakau bagi wilayah pesisir makin besar tahun lalu, ketika Topan Haiyan menghantam Filipina, menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hanya sedikit hutan bakau tersisa di daerah itu yang sebenarnya berpotensi menjaga terjangan badai.

Walaupun akuakultur yang menggantikan bakau tersebut sebagai sumber utama pemasukan dan penghidupan. Bagaimana negara-negara mendukung sektor ekonomi penting ini tanpa merusak hutan bakau mereka?

Konferensi terbaru digelar Pusat Penelitian Kehutanan Internasional memperdebatkan solusi terhadap ancaman terhadap hutan bakau Indonesia. Peserta konferensi mencari cara untuk menjaga penghasilan masyarakat sekaligus menjaga bakaunya. Rencana seperti itu membutuhkan upaya bersama dari beragam pemangku kepentingan untuk bisa berhasil.

Walaupun di awal konferensi, peserta mengungkapkan kekhawatiran bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia mempertimbangkan mengkonversi sejumlah wilayah hutan bakau untuk meningkatkan produksi akuakultur. Kementerian Kehutanan, kebalikannya, menempatkan strategi berkelanjutan untuk pemanfaatan dan perlindungan hutan bakau, demikian menurut LSM lingkungan Proyek Aksi Bakau.

Untuk membantu meredakan masalah ini, peserta konferensi membicarakan strategi kolaboratif untuk menjamin masyarakat pesisir lokal bisa bernegosiasi dengan badan pemerintah dan pemangku kepentingan lain – sehingga masyarakat bisa lebih terlibat dan memiliki perangkat untuk mendiskusikan masalah ini secara lebih mendalam.

Usulan lain yang didiskusikan adalah pemanfaatan “lansekap mosaik” untuk memperbaiki pesisir pantai terdegradasi. Usulan ini termasuk membangun pembatas pantai dari hutan bakau dan pantai, dengan tambak akuakultur, tempat wisata dan pembangunan lain di belakang zona garis pantai. Sabuk hijau, jelas seorang ilmuwan, akan memperbaiki dan menjaga garis pantai dan membantu produsen udang untuk mendapatkan sertifikasi udang organik.

Beberapa negara di Asia Tenggara kini berinvestasi dalam rehabilitasi bakau, dan terdapat peluang untuk memperkenalkan ko-manajemen, Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) atau skema pembagian keuntungan lain, sebagai insentif nyata untuk semua yang melindungi bakau.

Bagaimanapun, melindungi bakau tidak langsung menarik secara finansial, karena penggunaan lain wilayah bakau (khususnya peternakan udang) seringkali lebih menguntungkan dalam jangka pendek. Sesi diskusi dalam Forests Asia Summit, 5-6 Mei di Jakarta, akan menyoroti contoh upaya lokal mengelola wilayah bakau dan akan mengatasi masalah kelembagaan, teknis dan sosioekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen hutan bakau yang efektif dan berjangka panjang untuk menghadapi perubahan iklim.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/2014/04/13/2116400/Urgensi.Perlindungan.Hutan.Bakau

Posted in Global, Info | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Dituding Beli Kelapa Sawit Bermasalah, P&G Rilis Komitmen Nol Deforestasi

Kampanye untuk melindungi hutan tropis Indonesia yang dilakukan oleh Greenpeace, akibat praktek pembelian kelapa sawit yang merusak oleh pihak P&G. Sumber: Greenpeace

Salah satu produsen kebutuhan rumah tangga asal Amerika Serikat, Procter & Gamble secara resmi mengumumkan langkah untuk mengambil kelapa sawit yang bisa dilacak dan tidak merusak hutan alam dalam rantai pasokan mereka secara keseluruhan. Langkah ini diumumkan oleh Procter & Gamble (P&G) hari Selasa, 8 April 2014 silam, setelah tekanan yang bertubi-tubi dialamatkan bagi perusahaan yang salah satu produknya adalah sampo Head and Shoulders ini.

Sebulan setelah organisasi Greenpeace menjalankan kampanye terhadap perusahaan yang berbasis di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat ini, pihak P&G akhirnya memutuskan untuk memperbaiki sistem pembelian kelapa sawit mereka hanya dari sumber-sumber yang terpercaya mulai tahu 2020 mendatang, yang artinya peraturan baru ini baru akan dijalankan sepenuhnya sekitar enam tahun mendatang.

Kondisi hutan Indonesia akibat ekspansi kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Foto: Greenpeace

Dalam pernyataan yang dirilis secara resmi oleh pihak perusahaan, mereka menyatakan komitmennya untuk membeli kelapa sawit dari perusahaan yang tidak melakukan perusakan terhadap hutan hujan tropis. “Komitmen no deforestation P&G dalam rantai pasokan kelapa sawit tidak bisa ditawar. Tujuan kami adalah untuk membangun solusi efektif dalam jangka panjang terhadap isu keberlanjutan dalam kelapa sawit. Kami berkomitmen untuk melakukan perubahan positif melalui seluruh rantai suplai, tidak hanya untuk kami, namun juga untuk industri dan juga petani kecil yang tergantung pada komoditi ini,” ungkap Wakil Presiden P&G untuk Keberlanjutan Global, Len Sauers.

Saat ini, sebenarnya P&G sudah membeli kelapa sawit yang bersertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). P&G adalah anggota RSPO dan melakukan pembelian sesuai standar yang ditetapkan oleh kriteria organisasi tersebut. Namun melalui target baru ini, komitmen P&G bertekad melakukan lebih dari standar yang ditetapkan oleh RSPO, degan tujuan untuk membangun praktek keberlanjutan yang bisa diandalkan, efektif dan awet di seluruh pemasok mereka.

1114-chart-top-deforesters

Beberapa poin penting dalam memastikan komitmen anti-deforestasi dalam seluruh pasokan mereka dijabarkan dalam beberapa poin:

1. Membuat sistem yang bisa melacak sumber kelapa sawit hingga ke pabrik pengolahan mulai 31 Desember 2015.

2. Memastikan tidak ada aktivitas penebangan ilegal di dalam rantai pemasok hingga ke perkebunan di tahun 2020. Khusus untuk kelapa sawit pihak pemasok harus memasukkan rencana kerja mereka kepada pihak P&G tanggal 31 Desember 2015, dimana mereka harus bisa memastikan bahwa pihak penyuplai bisa menunjukkan bahwa mereka mampu menjamin praktek penanaman dan produksi mereka di lapangan bebas deforestasi di tahun 2020.

3. Bekerjasama dengan penyuplai, pihak industri, LSM, para pakar dan pemangku kepentingan lainnya untuk mempromosikan standar dan praktek industri yang konsisten dalam pembelian kelapa sawit yang berkelanjutan.

4. terus mendukung hak-hak asasi manusia seperti tercantum dalam Panduan Keberlanjutan bagi Penyupai P&G, dan mendukung hak-hak masyarakat adat.

5. Memberikan laporan tahunan terkait kemajuan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

1114-INDONESIA-tree-cover600

Pihak Greenpeace sendiri, kendati menyambut baik komitmen yang disampaikan oleh P&G namun mereka tetap mendorong perusahaan ini untuk secepat mungkin mendorong para penyuplai mereka melakukan praktek produksi yang tidak merusak hutan tropis dunia. “Greenpeace menyambut baik P&G yang membuat komitmen yang lebih kuat untuk membeli kelapa sawit yang berkelanjutan,” ungkap Joao Talocchi, juru bicara Greenpeace menanggapi isu ini, seperti dimuat dalam situs mereka. “Hal terpenting saat ini adalah P&G bisa menekan seluruh pemasok kelapa sawit mereka untuk mengikuti standar ini dan melakukannya secepat mungkin untuk membuat perubahan nyata dalam hutan tropis Indonesia.”

Indonesia adalah salah satu wilayah yang kehilangan hutan hujan tropis paling cepat di dunia. Laju deforestasi di Indonesia nomor dua di dunia setelah Brasil hingga tahun 2011 silam.

Hutan Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto: Greenpeace

Menurut penelitian yang dipimpin oleh Matt Hansen dari University of Maryland, menemukan bahwa Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar antara tahun 2000 dan 2012, peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat, dan Kanada dalam hal hilangnya hutan. Adapun sekitar 7 juta hektar hutan ditanam selama periode tersebut.

Namun dari lima negara hutan di atas, berdasarkan persentase, maka Indonesia berada di peringkat pertama dari laju kehilangan hutan yaitu 8,4 persen. Sebagai perbandingan, Brasil hanya kehilangan separuh dari proporsi tersebut.

Dari 98 persen kehilangan hutan di Indonesia, deforestasi terjadi di wilayah hutan berkerapatan tinggi yang ada di Sumatera dan Kalimantan, lokasi dimana konversi akibat hutan tanaman industri dan perkebunan sawit berkembang amat marak selama 20 tahun terakhir.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/04/10/dituding-beli-kelapa-sawit-bermasalah-pg-rilis-komitmen-nol-deforestasi/

Posted in Global, Info, Kalimantan | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Empat Caleg Jambi Diduga Lakukan Penjarahan SDA

Salah satu lokasi tambang batubara di Bungo. Foto: Jogi Sirait

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan empat calon legislatif DPR-RI daerah pemilihan Jambi yang menjadi pelaku utama dalam politik penjarahan sumber daya alam. Tiga di antaranya adalah politisi dari Partai Demokrat dan sisanya adalah politisi dari Partai Gerindra.

Tiga orang calon legislatif dari Partai Demokrat adalah Zulfikar Achmad (nomor urut tiga), Dipo Nurhadi Ilham (nomor urut empat), Camelia Puji Astuti (nomor urut enam) serta satu lagi politisi dari Partai Gerindra yaitu HM Najmi (nomor urut nomor urut enam).

Zulfikar Achmad yang notabene mantan Bupati Bungo dua periode tercatat sebagai Presiden Direktur PT Semagi Mina Prakasa, Presiden Komisaris PT Bara Global Energi serta Presiden Komisaris PT Bukit Bara Mandiri Prakasa.

Sementara Dipo Nurhadi Ilham yang merupakan anak Wakil Ketua BPK RI, Rizal Djalil adalah salah satu Direktur PT Samapta Energi Indonesia. Camelia Puji Astuti, putri kandung Hasip Kalimuddin Syam, mantan Wakil Gubernur Jambi sekaligus mantan Bupati Batanghari selama dua periode tercatat sebagai Komisaris CV Anha Energy.

Sedangkan HM Najmi adalah Komisaris PT Bara Rantau Duku dan Komisaris PT Bumi Bara Harum. Najmi merupakan pensiunan Kementrian Agama Provinsi Jambi. Selain pernah  yang menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tebo, Najmi juga masih menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah (STIT) Yapima Muaro Bungo.

Aktivitas pertambangan batubara yang merusak lingkungan dan diduga terkait dengan aktivitas politik sejumlah caleg di Jambi. Foto: Jogi Sirait

Semua perusahaan yang dimiliki keempat politisi tersebut adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. “Dari 84 caleg DPR-RI daerah pemilihan Jambi kita hanya temukan empat orang sebagai pelaku utama. Data ini sudah kami verifikasi. Selain keempat orang tersebut kami tidak temukan jejaknya. Mungkin saja mereka menggunakan modus lain,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Musri Nauli dalam diskusi bertema “Politik Penjarahan Sumber Daya Alam” yang digelar di sekretariat Walhi Jambi pada 7 April lalu. Beberapa NGO termasuk Jatam dan Seknas Walhi juga hadir dalam diskusi tersebut.

Dari keempat caleg tersebut, Nauli paling mengkhawatirkan Zulfikar Achmad. “Di atas kertas, Zulfikar yang paling berpeluang menang. Saya tidak bisa bayangkan sepak terjangnya jika dia nanti duduk di Senayan,” Nauli menegaskan.

Analisis Jatam menyebutkan politik penjarahan sumber daya alam masih menjadi pembiayaan utama partai politik. Sekitar 22 persen daerah pemilihan Jambi dikuasai oleh 406 konsesi pertambangan. Itu mengkapling 1.092.120,45 hektare dari daratan daerah pemilihan Jambi seluas 1.918.471,74 hektare. Belum termasuk minyak dan gas.

Selain itu, catatan kritis Jatam antara lain pertama pembocoran minyak mentah Pertamina yang dikelola PT Petragas terjadi berulangkali di Kabupaten Muaro Jambi. Pada 15 – 17 Juli 2013 setidaknya 17.563 barel minyak telah dicuri.

Kedua, Hutan Harapan akan “dibelah” sepanjang 51,3 kilometer dan lebar 30 – 50 meter untuk pembukaan jalan perusahaan tambang batubara PT Musi Mitra Jaya anak usaha Atlas Resources Tbk.

Ketiga, royalti pertambangan umum yang didapat Provinsi Jambi hanya sebesar Rp 10 miliar setiap tahunnya. Sementara biaya untuk perbaikan jalan yang rusak akibat perusahaan tambang sebesar Rp 300 miliar.

Keempat, jalan sepanjang 1.000 kilometer mulai dari Muara Durian, Bajubang, Tempino hingga Lingkar Selatan Kota Jambi rusak parah akibat truk dan alat berat batubara. Kelima, Sungai Batanghari keruh dan tercemar akibat aktivitas angkutan batubara di Jambi.

Keenam, banjir yang disebabkan meluapnya Sungai Batang Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam. Hingga 2012, hutan yang dialokasikan untuk tambang sudah mencapai 1,1 juta hektare atau sebanding dengan luasan TNKS.

Terakhir, hanya 187 IUP yang masuk kategori clean and clear dari 386 IUP. Sisanya yang tidak masuk clean and clear atau tumpang tindih masih beroperasi. Temuan BPK RI justru 245 IUP bermasalah karena lahannya tumpang tindih.

PETA KONSESI TAMBANG DAPIL JAMBI. Silakan kilk untuk memperbesar peta.

Campaigner Seknas Walhi, Edo Rakhman mengatakan bahwa kecendrungannya caleg-caleg pada Pemilu Legislatif 2014 ini berasal dari kalangan pengusaha. Bahkan grafiknya terus meningkat. Pada periode 1999-2004 sebanyak 33,3 persen anggota legislatif yang berprofesi sebagai pengusaha. Meningkat menjadi 39,04 persen pada periode 2004-2009. Lalu pada pada periode 2009-2014 justru bertambah menjadi 44 persen.

“Jika jumlahnya demikian besar, mana sempat memikirkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Mereka justru sibuk memikirkan bisnisnya. Sebagian besar anggota DPR-RI kita juga tidak memahami kebutuhan masyarakat,” kata Edo.

Musri Nauli menimpali kondisi itu hampir sama yang terjadi di Provinsi Jambi. Dari total keseluruhan 45 anggota DPRD Provinsi Jambi paling banter hanya tiga atau empat orang yang aktif saat hearing. Dia mencontohkan kala hearing mengenai tata ruang, hanya sedikit sekali yang aktif atau memahami persoalan. “Ironisnya, sebagian besar caleg DPR-RI sekarang banyak yang tidak bermukim di Jambi melainkan di Jakarta,” ujar Nauli.

Seperti dilansir pada 6 Maret lalu, hasil kajian Walhi menyebutkan hanya 7 persen caleg yang berkomitmen terhadap isu lingkungan hidup. Penelitian itu dilakukan selama tiga bulan, sejak Desember hingga Februari 2014.

Edo Rakhman mengatakan bahwa melihat kualitas caleg dari sisi komitmen terhadap lingkungan sangat penting di tengah krisis ekologi yang sudah semakin parah saat ini. “Banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, pemanasan global, kualitas air dan udara turun serta pencemaran grafiknya terus meningkat. Itulah yang menjadi latar belakang kami meneliti dan membuat indeks caleg,” katanya.

Publik perlu tahu kualitas caleg DPR-RI yang memiliki yang memiliki kompetensi, kepemimpinan, komitmen dan berintegritas sebab mereka adalah pembuat kebijakan ke depan. “Perubahan itu berada di tangan mereka. Jika rakyat salah pilih artinya bencana alam itu akan terjadi kembali,” ujarnya.

Dari total 6.561 caleg hanya sekitar 48 caleg yang rekam jejaknya tak bisa diakses. Walhi, kata Edo, hanya fokus pada individu caleg tanpa melihat partainya. “Memangnya partai mana sih yang bersih?” Edo mempertanyakan.

Secara general, kecuali PKPI dan PKS, ujar Edo, hampir semua platform partai politik menyatakan kepedulian terhadap isu lingkungan hidup. Namun hasil penelitian Walhi, tak satupun yang secara tegas menyatakan untuk menyelesaikan konflik yang selama ini sudah terjadi.

Padahal, kata Emergency Respon Jatam, Bagus Kusuma, sejak tahun 2009 tercatat 56 korban meninggal, 73 korban tertembak, 604 ditangkap, 321 dianiaya. Jumlah konflik pada tahun 2012 sebanyak 198 kasus dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 396 kasus.

Kajian Jatam juga menyebutkan sekitar 68 persen wilayah Indonesia sudah dikapling untuk konsesi perkebunan, pertambangan, dan migas. Setiap tahunnya potensi kerugian negara dari korupsi sektor pertambangan sekitar Rp 15 ribu triliun!

Untuk di Jambi, menurut Nauli, setelah HTI dan perkebunan, konflik tambang diperkirakan meningkat tajam. Bagus Kusuma menambahkan trennya menjelang pilkada, biasanya bakal bertambah izin pertambangan baru. “Apalagi jika jalan Hutan Harapan itu jadi dibelah,” katanya.

Namun keempat caleg DPR-RI yang bermasalah itu belum dapat dikonfirmasi. Mongabay Indonesia berkali-kali mencoba menghubungi telepon seluler Dipo Nurhadi Ilham. Namun pesan singkat tak dijawab dan panggilan telepon tak diangkat. Beberapa saat kemudian, telepon selulernya dimatikan.

Sejumlah aktivitas pertambangan kini dalam pengawasan KPK. Foto: Jogi Sirait

Tambang Jambi Dalam Pengawasan KPK

Hasil supervisi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa Provinsi Jambi merupakan salah satu dari 12 provinsi yang diawasi terkait pengelolaan tambang. Sebelas provinsi lainnya adalah Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara.

Beberapa persoalan yang diawasi meliputi hal-hal berkaitan dengan renegosiasi kontrak, peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral batu bara, penataan kuasa pertambangan/izin usaha pertambangan, serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation).

Lima persoalan lain berkaitan dengan kewajiban pelaporan secara reguler, pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang, penerbitan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengembangan sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, serta pengoptimalan penerimaan negara.

Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus mengaku belum mengetahui persis lokasi-lokasi tambang mana saja yang disorot komisi antirasuah itu. “Saya tidak tahu persis fokusnya dimana nanti kita lihat tapi yang jelas memang ada lokasi tambang yang tumpang tindih kemudian ada lokasi yang dari sisi amdalnya tidak benar,” katanya belum lama ini.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi, Erman Rahim mengaku bahwa IUP di beberapa pertambangan tumpang tindih selain itu masih ada royalti sebesar Rp 1,5 miliar yang belum disetor ke kas negara.

“Yang tumpang tindih kita selesaikan,” katanya. Erman mencontohkan seperti seperti IUP PT Aneka Tambang (Antam) yang meliputi dua Kabupaten: Sarolangun dan Merangin diminta KPK supaya izinnya menjadi satu di provinsi karena meliputi dua kabupaten. Izin PT Antam sebelumnya hanya melalui dua kabupaten tanpa melalui provinsi.

Pada aspek pengawasan reklamasi dan paska tambang pemegang IUP eksplorasi tidak melakukan kewajiban reklamasi sesuai aturan perundangan. Pengamatan KPK pemerintah daerah tidak melakukan pencatatan dan pengawasan terhadap realisasi produksi hasil tambang yakni penghitungan besaran royalti produksi batu bara secara self assesment oleh perusahaan tambang, rumus penghitungan royalti tidak sesuai aturan.

KPK juga melihat indikasi penerbitan IUP tidak sesuai dengan kewenangan seperti PT Antam (IUP Kabupaten Sarolangun, dan Merangin), PT Sarolangun Ketalo, PT Tembesi Coalindo (IUP Kabupaten Sarolangun) PT Satria Tapak Nawala, PT Bangun Energi Indonesia (IUP Kabupaten Batanghari).

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/04/08/empat-caleg-jambi-diduga-lakukan-penjarahan-sda/

Posted in Info, Sumatera | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Ramai-ramai Dorong Perda Masyarakat Adat di Sumatera Selatan

Kawasan adat Suku Semende di Kabupaten Muaraenim. Tempat hidup mereka berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, hingga berkonflik dengan pemerintah, padahal mereka sudah hidup di sana ratusan tahun lalu, turun menurun. Foto: Taufik Wijaya

Wacana pembuatan peraturan daerah (perda) mengenai masyarakat adat di Sumatera Selatan (Sumsel) mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Dari pekerja budaya, anggota dewan, akademisi, praktisi hukum. Mereka sepakat dengan inisiatif dari Pemerintah Musi Banyuasin ini,  demi menjaga hak dan tradisi masyarakat adat tetap terjaga.

Yudhy Syarofie, pekerja budaya di Palembang mengatakan,  dengan perda ini, memberikan peluang bagi masyarakat adat Sumsel menunjukkan identitas kembali. “Banyak tradisi masih tersimpan di masyarakat adat. Tradisi itu tidak mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Bahkan mereka tidak dapat mempertahankan tradisi itu, lantaran mereka terdesak berbagai kebijakan pembangunan,” katanya, Selasa (18/3/2014).

Bahkan, katanya, sebaiknya perda masyarakat adat ini lahir dari Pemerintah Sumatera Selatan agar menjangkau semua masyarakat adat di Sumsel.  “Keinginan Kabupaten Muba melahirkan perda ini luar biasa, tapi hanya sebatas wilayah Muba.”

Masyarakat adat, katanya, kehilangan tanah adat. Mereka dari dusun, harus pindah ke kota besar, lantaran tak memiliki lahan bertani, atau di dusun mereka memilih pekerjaan lain. “tTradisi tidak dapat mereka pertahankan lagi,” kata Yudhy.

Julian Junaidi, akademisi dari jurusan sosial dan ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, mengatakan, perjuangan masyarakat adat mendapatkan akses keadilan terhadap sumber daya alam di Kabupaten Muba, seperti tanah, sebaiknya dimulai dari provinsi.“Hingga perjuangan masyarakat adat menjadi lebih mudah untuk mendapatkan akses keadilan, terutama soal tanah.”

Salah satu penyebab kemiskinan masyarakat Sumsel, diperkirakan mencapai 40 persen dari 7 juta jiwa, karena tidak mendapatkan akses keadilan,  terutama di pedesaan. “Penyebab kemiskinan di desa atau dusun akibat akses tanah hilang.”

Namun, perda masyarakat adat ini, katanya, hendaknya bukan sebatas pengakuan tradisi dan budaya. “Terpenting, pengakuan hak atas tanah adat.”

Keinginan Politik

Muhammad F. Ridho dari DPRD Sumsel menyambut baik wacana perda ini. Perda masyarakat adat di Sumsel, katanya,  sangat diperlukan terkait jutaan masyarakat, khusus di dusun, yang bisa dikatakan hampir semua masyarakat adat. “Melalui perda itu diharapkan mampu mempertahankan nilai-nilai budaya luhur yang selama ini dijaga hukum adat.”

Abdul Aziz Kamis, aktivis pemberdayaan masyarakat desa dan pernah menerbitkan media Tabloid Desa, mengatakan peraturan daerah itu dapat dilahirkan tanpa harus menunggu UU Masyarakat Adat.

“Kalau para anggota dewan itu mendukung, gunakan saja hak inisiatif. Tidak harus menunggu UU. UUD 1945 lebih dari cukup. Terbukti sudah ada daerah yang melahirkan peraturan daerah terkait masyarakat adat.”

Azis menilai,  para anggota dewan dan pemerintah Sumsel pada dasarnya tidak memiliki keinginan politik membela masyarakat adat. Mereka tidak begitu peduli keberadaan masyarakat adat, yang sebenarnya melahirkan mereka dan keluarga.

“Kenapa? Karena mereka sudah kehilangan akar budaya,” kata Aziz.

Eti Gustina, praktisi hukum, membenarkan jika sebuah peraturan daerah turunan dari UU. “Tetapi tetap mempunyai peluang kalau itu menggunakan inisiatif dari daerah. Itu tergantung mau atau tidaknya pemerintah daerah melahirkannya,” katanya.

Rustandi Adriansyah, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel menjelaskan, dasar hukum masyarakat adat di Sumsel sudah diakui pemerintah daerah. “Di Sumsel ini ada lembaga adat. Bukan hanya di kabupaten dan kota, juga di provinsi. Perda mengenai masyarakat adat dapat diwujudkan dengan inisiatif pemerintah daerah, tidak harus menunggu UU.”

Dengan perda ini, katanya, bisa menjadi solusi menghentikan konflik antara masyarakat adat dengan berbagai perusahaan dan pemerintah, terutama mengenai penguasaan lahan. “Ini juga mengatasi persoalan kemiskinan dan penjagaan lingkungan hidup yang kian kritis.”

Saat ini,  sekitar satu juta warga adat dari 119 marga di Sumsel terlibat konflik lahan dengan perkebunan sawit sejak 1990-an. Mereka kehilangan lahan, korban jiwa, kriminalisasi, sampai hutan suaka kehilangan keragaman hayati. “Data ini belum seluruh Sumsel. Belum ditambah masyarakat adat yang berkonflik dengan perusahaan lain, seperti pertambangan.”

Posted in Info, Sumatera | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

FOKUS LIPUTAN: Kelapa Sawit, Antara Kepentingan Politik dan Tata Guna Lahan

Pembakaran lahan di kebun sawit di Kalbar. Foto: Hendrikus Adam, Walhi Kalbar

Komoditas kelapa sawit memiliki sejarah panjang di tanah air kita. Tanaman ini sejatinya adalah tanaman eksotis dari Afrika. Bibit-bibit pertama yang datang ke Indonesia pada tahun 1848 dibawa ke Kebun Raya Bogor dari Mauritius dan Amsterdam, Belanda.

Namun tanaman ini belum dibudidayakan untuk tujuan komersial hingga tahun 1911. Bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dirintis oleh seorang pria Belgia bernama Adrien Haller yang menimba ilmu soal kelapa sawit di Afrika. Langkah yang dilakukan oleh Haller ini kemudian diikuti oleh K. Schadt.

Perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia berada di propinsi Sumatera Utara, tepatnya di kawasan pantai timur Sumatera di Deli Serdang dan Aceh dengan luas 5.123 hektar. Pada tahun 1919, Indonesia untuk pertamakalinya mengekspor kelapa sawit sebanyak 576 ton ke Eropa, lalu disusul dengan ekspor minyak inti sawit pada tahun 1923 sebesar 850 ton.

Inilah titik awal dominasi Indonesia dalam bisnis perkebunan kelapa sawit. Hasil yang dimiliki Indonesia saat itu bahkan berkembang sangat pesat dan mulai menyaingi produk yang dihasilkan oleh negara-negara Afrika.

Produk kelapa sawit Indonesia sempat mengalami surut pada masa kekuasaan Jepang di tanah air. Bahkan perkebunan kelapa sawit saat itu sempat menyusut sebanyak 16% dan Indonesia hanya menghasilkan sekitar 56.000 ton kelapa sawit antara tahun 1948 hingga 1949. Angka ini jauh merosot dibandingkan sebelumnya, yang mencapai 250.000 ton pada awal 1940-an. Selain itu, sistem perkebunan warisan Belanda ini sempat ditiadakan oleh Presiden Pertama RI, Ir. Sukarno yang berusaha melawan dominasi atas modal asing. Semua perkebunan milik Belanda dinasionalisasikan dan diambil alih oleh perusahaan perkebunan milik negara. Masa awal perkembangan kelapa sawit pun terhenti.

Data Perkembangan Sawit

Masa keemasan baru bagi bisnis kelapa sawit di Indonesia dimulai pada era Orde Baru, dimana pemerintah mendorong perkembangan perkebunan kelapa sawit melalui Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP). Saat ini, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit sangat dahsyat, mulai dari 65.573 hektar di tahun 1967 menjadi 176.406 hektar di Sumatera. Sementara ekspansi kelapa sawit ke Kalimantan dan Papua dimulai di era 1980-an. Hingga tahun 1985 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 600.000 hektar, atau meningkat nyaris sepuluh kali lipat dalam waktu kurang dari 20 tahun. Ekspansi perkebunan kelapa sawit ini terus meningkat hingga era akhir kekuasaan Presiden Suharto yang menandai berakhirnya era Orde Baru.

Peningkatan Komoditas berbanding Lurus Dengan Jumlah Konflik Sosial

Data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan menyebut luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia per tahun 2012 mencapai 8,1 juta hektar. Namun data ini disanggah oleh organisasi Sawit Watch yang menyebutkan bahwa luasan sebenarnya dari perkebunan kelapa sawit ini mencapai 11,5 juta hektar.

Namun luas lahan ini tidak serta merta memberikan kesejahteraan bagi para petani. Data dari Dirjenbun memang menyebutkan bahwa luasan kebun kelapa sawit milik petani adalah diatas 40%, namun data ini disanggah oleh Sawit Watch tahun 2012 silam, dengan menyatakan bahwa lahan milik petani berada di bawah angka 30%. Selebihnya, perkebunan kelapa sawit justru lekat dengan citra konflik sosial.

Seperti dicuplik dari tulisan Noer Fauzi Rachman di Sajogyo Institute berjudul Mengapa Konflik Agraria Struktural Terus-Menerus Meledak Di Sana-Sini?, Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan pada Kementerian Pertanian, Herdradjat Natawidjaja (2012), menyampaikan data dalam satu rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 25 Januari 2012. Ia menyebutkan bahwa sekitar 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik, dengan urutan pertama banyaknya konflik ditempati Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, disusul Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus.

Namun mengapa konflik sosial ini terus terjadi? Dalam konteks ekspansi masif perkebunan kelapa sawit, kini bukan lagi sekedar membuka lahan belaka. Namun berbagai elemen sosial politik kini banyak terlibat dalam sektor perkebunan ini. Bisnis yang melibatkan modal besar serta membawa benefit yang sangat besar bagi pebisnisnya ini, kini tak lagi dipandang sebagai sebuah sektor yang memberikan devisa belaka.

Sektor perkebunan kelapa sawit, kini sudah berubah menjadi sebuah medium tarik menarik kekuatan antara kekuatan modal dan kekuasaan politik di negeri ini. Pola-pola pemberian izin, pengusahaan perkebunan, hingga menjadikan perkebunan kelapa sawit ini sebagai ATM politik kini menjadi sebuah fenomena yang umum terjadi di Indonesia. Terutama menjelang pergantian rezim penguasa seperti saat ini, dimana kekuatan ekonomi menjadi penentu siapa mendapat apa di ladang politik nasional.

Mungkin terlalu banyak contoh-contoh yang terjadi di lapangan jika kita harus menyelidikinya satu demi satu. Namun, beberapa contoh kasus yang diangkat oleh tim peliputan mendalam Mongabay-Indonesia di Kalimantan Barat dan Jambi dalam dua seri tulisan ini bisa menjadi sebuah gambaran, bagaimana kekuatan ekonomi lokal mempengaruhi perubahan kepemimpinan politik.

data walhi3

Kolaborasi Penguasa dan Pengusaha Dalam Pengerukan SDA di Kalbar

Pengerukan sumberdaya alam di Kalimantan Barat kian tak terbendung. Sektor perkebunan kelapa sawit menjadi penyumbang paling besar dalam proses penghancuran sumberdaya alam yang ada. Deforestasi, dan konflik sosial berkepanjangan, adalah konsekuensi logis dari kebijakan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi.

Di Kalbar, konflik pemanfaatan lahan akibat kegiatan investasi perkebunan, pertambangan, HTI-HPH, tidak hanya memosisikan masyarakat lokal berhadapan dengan perusahaan, tetapi juga dengan pemerintah daerah, bahkan antar-masyarakat secara horizontal. Selain itu, masyarakat senantiasa berhadapan dengan aparat keamanan hingga dikriminalisasi.

Sejak tahun 2004, jumlah konflik terus mengalami peningkatan signifikan dari 26 menjadi 104 kasus. Bahkan 70 warga desa dan aktivis telah ditahan dengan tuduhan menolak ekspansi perkebunan kelapa sawit. Namun demikian, sokongan pemerintah daerah terhadap investasi di sektor perkebunan kelapa sawit terus melaju. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Pemerintah Kalbar yang menargetkan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 1,5 juta hektare.

Jika ditinjau kondisi geografis dan demografis, wilayah daratan provinsi ini mencapai 14,4 juta hektare dengan jumlah penduduk 4,3 juta jiwa. Hingga 2014, konsesi perkebunan kelapa sawit telah dikuasai 326 perusahaan dengan luas areal 4,8 juta hektare. Angka ini setara dengan luas total daratan Provinsi Jambi.

Peta Perkebunan Kelapa Sawit di Kalbar. Sumber WWF Indonesia

Hal ini diperparah dengan perizinan di sektor lain seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 1,5 juta hektare yang sudah diberikan kepada 651 perusahaan. IUPHHK-HA-HT dikuasai 151 perusahaan dengan luas areal 3,7 juta hektare.

Data yang sudah dibeberkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan ini menggambarkan bahwa 529 perusahaan telah menguasai 10 juta hektare lahan, atau hampir 70 persen dari luas wilayah Kalimantan Barat.

Artinya, tinggal 30 persen atau 4,4 juta hektare luas wilayah daratan yang dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa penduduk Kalbar. Wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat tersebut, juga masih harus dikurangi dengan kawasan konservasi dan kawasan lindung seluas 3,7 juta hektare.

Sebagai konsekuensi dari kebijakan pembangunan multisektoral ini, tumpang-tindih lahan permukiman dan wilayah kelola rakyat dengan kawasan hutan dan perkebunan kian menganga. Bahkan, tumpang-tindih wilayah kelola membawa implikasi yang sangat serius.

Di dalam kawasan hutan misalnya, posisi masyarakat senantiasa dituding sebagai pencaplok lahan negara, melanggar aturan dan potensial dikriminalisasi. Kebijakan ini juga menutup akses masyarakat dari skema pembangunan perdesaan seperti dukungan bantuan bibit, insentif pembangunan sawah dan irigasi.

Selain itu, masyarakat dinilai telah menghambat implementasi skema pembangunan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Selanjutnya, warga dianggap menjadi ancaman terhadap kebijakan penetapan kawasan hutan, di mana fungsi kawasan tersebut bertujuan menunjang kehidupan, tata air, kesinambungan ekosistem, dan keanekaragaman hayati.

Di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit, lahan kelola pertanian pangan masyarakat untuk budidaya tradisional menjadi terbatas. Untuk lahan yang sudah berstatus HGU, potensi konflik akibat pertumbuhan populasi dengan usaha perkebunan kian meruncing akibat kebutuhan lahan yang terbatas. Untuk lahan yang masih dalam tahap pembangunan, potensi konflik horizontal pun sangat tinggi, karena belum jelasnya batas wilayah kelola.

Selain itu, diversifikasi produk lokal menjadi lemah akibat lahan non-kawasan hutan hampir keseluruhan telah dibebani izin perkebunan sawit. Massifnya pemberian izin perkebunan kelapa sawit di wilayah non-kawasan hutan yang di dalamnya terdapat permukiman, menjadi modus bagi pemerintah untuk melepaskan tanggungjawab pelayanan publik kepada masyarakat dan menyerahkannya kepada pihak perusahaan.

Rentetan persoalan di atas dipicu oleh konsep pembangunan yang lebih mengedepankan aspek bisnis daripada kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dari tingginya animo perizinan yang dikeluarkan pemerintah terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Pengembangan lahan kebun sawit yang massif di Kalbar, menjadi bom waktu,  bencana alam di daerah ini. Foto: Andi Fachrizal

Kepentingan Politik di Balik Investasi Sawit

Di Kabupaten Ketapang, investasi perkebunan kelapa sawit ibarat jamur di musim hujan. Daerah ini menjadi lahan paling subur bagi para investor untuk mengeruk sumberdaya alam di dalamnya. Apalagi, publik tahu mantan Bupati Ketapang Periode 2000 – 2005 dan 2005 – 2010, Morkes Effendy adalah tokoh paling “murah hati” mengeluarkan izin usaha perkebunan dan pertambangan.

Salah satu contoh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mendapatkan kemudahan dalam memeroleh izin adalah PT Kayong Agro Lestari. Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dengan Nomor 551.31/0562/Disbun.C pada 12 Maret 2004.

Kawasan konsesi yang diberikan kepada PT KAL berada di Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, dengan luas areal 20 ribu hektare. Perusahaan ini memiliki relasi kuat dengan Morkes Effendy. Disebut pula Yasir Ansyari-lah pemilik awal perusahaan tersebut. Yasir adalah anak kandung Morkes Effendy.

Satu tahun mengantongi izin, PT KAL nyaris tak memiliki aktivitas apa-apa. Kala itu, suhu politik di Ketapang mulai memanas. Pesta demokrasi lima tahunan yang dihelat pada 20 Juni 2005 ini menjadi momentum bersejarah di mana rakyat diberi kesempatan untuk memilih pemimpin secara langsung.

Perubahan proses politik Pilkada dari semula menggunakan sistem perwakilan di DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat telah berimplikasi pada pembiayaan politik yang sangat besar bagi para kandidat. Modal popularitas saja tidak cukup untuk memenangi pertarungan politik. Para kandidat, harus merogoh kocek yang dalam untuk melakukan kampanye guna menggenjot citranya di mata konstituen.

Morkes Effendy turun dari singgasana untuk kembali bertarung merebut kursi kekuasaan yang akan ditinggalkannya. Ia berpasangan dengan Henrikus, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Ketapang saat itu. Ada dua pasangan lainnya ikut maju. Mereka adalah Lorentius Majun – Abul Ainen, dan Gusti Sofyan Afsier – Paulus Lukas Dengol.

Sumber: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan

Pasangan Morkes Effendy – Henrikus diusung Partai Golkar. Sedangkan kompetitornya, Lorentius Majun – Abul Ainen diusung koalisi PDI-Perjuangan dan PPDK. Pasangan lainnya, Gusti Sofyan Afsier – Paulus Lukas Dengol diusung koalisi PPP, PPD, dan Partai Demokrat.

Hasilnya, pasangan Morkes Effendy – Henrikus keluar sebagai pemenang dengan mengantongi 94.415 suara. Terpaut jauh dari dua kompetitor lainnya, masing-masing pasangan Lorentius Majun – Abul Ainen, 69.273 suara dan pasangan Gusti Sofyan Afsier – Paulus Lukas Dengol dengan 52.286 suara. Morkes Effendy kembali merebut singgasana Ketapang untuk periode 2005 – 2010.

Setahun pasca-Pilkada Ketapang, PT KAL belum juga beraktivitas. Sadar terbentur regulasi, perusahaan ini kemudian mengajukan izin perpanjangan pada 2006. PT KAL kembali mendapat kemudahan dalam pengurusan perpanjangan izin dari penguasa pemenang Pilkada, Morkes Effendy. Izin No 551.31/0615/Disbun.C tertanggal 20 Maret 2006 pun diterbitkan.

Namun, kali ini manajemen PT KAL sudah berada di bawah payung PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri. Data Swandiri Institute yang diperoleh dari CIC dan Sisminbakum menyebut PT ANJ Agri dipegang oleh dua komisaris, masing-masing Koh Bing Hock dan George Santoso Tahija.

PT KAL pada tahun 2006, di bawah kendali PT ANJ Agri mulai melakukan sosialisasi kehadiran mereka ke sejumlah desa yang masuk dalam konsesi perusahaan. Salah satunya adalah Desa Laman Satong. Masyarakat di desa ini menerima kehadiran PT KAL dengan sejumlah catatan, di antaranya perusahaan harus menampung tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan di perusahaan itu.

Berbeda dengan sikap warga di Desa Laman Satong, manajemen PT KAL mengalami kendala di Desa Riam Berasap. Mayoritas warga menolak kehadiran perusahaan sawit masuk ke desa mereka. Akhirnya, Riam Berasap dikeluarkan dari konsesi atas persetujuan DPRD Ketapang.

Dinamika kehadiran PT KAL di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Matan Hilir Utara terus berproses. Pelepasan kawasan mulai dilakukan pada tahun 2006 itu juga. Prosesnya tanpa melalui RTRW. Alasannya, konsesi yang dikuasai PT KAL berstatus Hutan Produksi Konversi (HPK) sehingga proses pelepasannya langsung ke Kementerian Kehutanan RI. Langkah ini berjalan mulus hingga Izin Prinsip keluar pada 2008. Selanjutnya PT KAL memasuki tahap HCV Assessment pada 2010.

Pada tahun itulah, masa kepemimpinan Morkes Effendy di Kabupaten Ketapang berakhir. Namun, sebelum meninggalkan tahtanya, ia berhasil merebut kursi Ketua DPD Partai Golkar Kalbar. Morkes tetap bernafsu melanjutkan dinasti kekuasaannya di Ketapang dengan mendorong anaknya, Yasir Ansyari menjadi calon Bupati Ketapang.

Bertitik tolak dari latar belakang kehidupan sebagai seorang politisi Partai Golkar, Yasir Ansyari pun maju dalam Pilkada Ketapang 2010. Ia berpasangan dengan Martin Rantan, rekannya sesama anggota DPRD Ketapang. Pasangan ini diusung koalisi dua partai, yakni Partai Golkar dan PKS.

Selain Yasir Ansyari – Martin Rantan, masih ada tiga pasangan lainnya yang ikut bertarung dalam Pilkada Ketapang kala itu. Mereka adalah pasangan Henrikus – Boyman Harun (PDI-Perjuangan, Partai Demokrat, PAN), AR Mecer – Jamhuri Amir (PPD, Hanura, dan PPID), dan Ismed Siswandi – Suhermansyah (Independen).

Hasilnya, Pilkada Ketapang 2010 yang berlangsung dua putaran itu dimenangkan pasangan Henrikus – Boyman Harun dengan meraup 116.079 suara. Sedangkan pasangan Yasir Ansyari – Martin Rantan hanya memeroleh 94.052 suara. Dua pasangan lainnya sudah dinyatakan gugur pada putaran pertama. Kekalahan Yasir dalam Pilkada Ketapang, sekaligus mengubah konstelasi politik bisnis di daerah itu.

Daftar Perkebunan Kelapa Sawit di Kalbar. Sumber: WWF Indonesia

Daftar Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Sumber: WWF Indonesia

Sebagai konsekuensi dari kemenangan Henrikus – Boyman Harun, pada 2010 sejumlah perusahaan baru bermunculan. Salah satunya PT Laman Mining di Kecamatan Matan Hilir Utara. Salah seorang pemilik perusahaan pertambangan ini adalah Anthony Salim, anggota DPRD Ketapang dari PDI-Perjuangan, partai pengusung pasangan Henrikus – Boyman Harun. Manuver PT KAL pun tak semulus di masa kepemimpinan Morkes Effendy.

Kehadiran PT Laman Mining di Matan Hilir Utara ternyata membuka konflik baru. Pada perkembangannya, konsesi kedua perusahaan ini tumpang-tindih. Tak jarang, perselisihan terjadi. Begitu pula dengan masyarakat setempat, khususnya di Desa Laman Satong. Posisi masyarakat akhirnya terpecah menjadi dua bagian. Satu kelompok pro-sawit, dan satu kelompok pro-tambang.

Jamak Terjadi Persekongkolan Penguasa – Pengusaha

Direktur Yayasan Palung, Tito Indrawan menilai, fakta yang terjadi di Matan Hilir Utara itu, hanyalah satu contoh dari sekian banyak kasus serupa terjadi di Kalbar. Pola-pola perselingkuhan antara penguasa lokal dengan pengusaha, bukan hal baru. “Masyarakat selalu menjadi korban dari kebijakan pro-bisnis,” katanya.

Hal itu juga diamini Hermawansyah dari Lembaga Gemawan. Menurutnya, praktik-praktik tak terpuji yang dilakukan penguasa dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit sudah jamak terjadi di Kalbar. Dugaan jual beli izin lahan perkebunan di setiap jelang Pilkada atau Pemilu Legislatif, bukan sesuatu yang aneh mengingat besarnya modal politik yang dibutuhkan. Hanya saja, transaksi jual beli izin di setiap gawai politik itu sulit dibuktikan.

Pembakaran lahan di Kalimantan Barat memicu degradasi hutan yang sebabkan menurunnya daya simpan tanah terhadap air. Foto: Rhett A. Butler

CIC mencatat, selama kurun waktu 2012 – 2013, sedikitnya ada tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengajukan Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan Ketelanjuran ke Kementerian Kehutanan RI. Hal ini memungkinkan terjadi jika merujuk pada PP 60/2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Keenam perusahaan itu adalah PT Gemilang Makmur Subur, PT Ledo Lestari, PT Mega Sawindo Perkasa, PT Tsjafiuddin, PT Wana Hijau Semesta, PT Wirata Daya Bangun Persada, dan PT Swadaya Mukti Prakasa. Saat ini, permohonan pelepasan dari PT Swadaya Mukti Prakasa seluas 4.385 hektare di Kecamatan Simpang Hulu, Simpang Hilir, dan Sungai Laut, Kabupaten Ketapang sedang dalam proses.

Arif Munandar dari Swandiri Institute menilai PP 60/2012 sebenarnya sudah cukup membuka peluang bagi pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk memutihkan kawasan konsesinya yang masuk ke dalam kawasan hutan. Apalagi dengan diterbitkannya SK 936/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan Penujukan Kawasan, kian membuka jalan pemutihan itu.

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Jambi ini menegaskan, baik PP 60/2012 maupun SK 936/2013 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. “Keduanya bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan. Mengakomodir proses pemutihan kawasan hutan itu fatal. Apa lagi menjelang Pemilu,” ucapnya.

 

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/04/07/fokus-liputan-kelapa-sawit-antara-kepentingan-politik-dan-tata-guna-lahan-bagian-i/

Posted in Global, Info | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Tambang Emas G-Resources Hancurkan Hutan Batang Toru

Hutan lindung Batang Toru yang rusak untuk pembuatan camp perusahaan. Foto diambil Agustus 2013. Foto: Yayasan Ekosistem Lestari

Sejak izin diberikan kepada tambang emas Martabe G-Resources Group Ltd pada April 1997 hingga kini, kerusakan hutan di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, cukup luas. Tambang emas milik pengusaha Hong Kong  ini dari 163.900 hektar luas wilayah izin, 30 persen hutan di kawasan itu sudah hancur.

Demikian diungkapkan Kusnadi, Direktur Walhi Sumut pertengahan Maret 2014.  Dia mengatakan, perusakan hutan itu, dengan mengeruk tanah, menebang kayu, hingga proses penghancuran lain menggunakan bahan peledak.

Temuan terakhir mereka, sekitar September 2013 hingga Januari 2014, perusahaan ini, kembali mengeksplorasi dengan merusak hutan dan lingkungan di Kabupaten Tapanuli Utara (Taput). Yang mengejutkan, ternyata eksplorasi itu tanpa sepengetahuan pemerintah, baik Dinas Kehutanan maupun Perkebunan.

“Ini bukti ada pengabaian dari Martabe. Setelah klarifikasi, dikatakan menjalankan aturan berlaku. Dinas Pertambangan provinsi terkesan membela mereka. Tidak  ada sanksi apapun, dengan alasan untuk keperluan dan eksplorasi pengambilan emas dan perak,” katanya.

Kusnadi menjelaskan,  eksplorasi perusahaan ini dengan pemblokan lokasi yang diduga memiliki kandungan emas dan perak. Setelah itu dilakukan pengerukan. Dalam eksplorasi itu ditemukan merusak lingkungan dan hutan Batang Toru.”

Menurut dia, usai eksplorasi dibiarkan begitu saja. Sisa-sisa hasil produksi, hanya berserakan dalam hutan yang dulu rimbun dan indah.

“Kami mendesak pemerintah memerintahkan perusahaan segera memperbaiki kerusakan hutan yang parah. Jangan sampai izin selesai, perusahaan kabur, pemulihan tak dilakukan.”

Tak hanya hutan rusak, air sungai pun terancam tercemar. Sebab, pembuangan limbah perusahaan ke Sungai Batang Toru.

Walhi Sumut menyatakan tidak ada kesejahteraan masyarakat desa sekitar tambang Martabe. Foto: Ayat S Karokaro

Kusnadi mendesak, pemeriksaan pipa tailing yang dialirkan ke Sungai Batang Toru, melibatkan para pihak independen. “Ini untuk memastikan dugaan penyimpangan-penyimpangan dalam uji berkala.”

Ian Singleton, Director for the Sumatran Orangutan Conservation Programme, juga angkat bicara. Dia mengatakan, perusakan hutan memakai alasan peningkatan ekonomi, menjadi modus sejumlah oknum pejabat Indonesia. Caranya, dengan mengeluarkan izin-izin. Kasus serupa terjadi di hutan Batang Toru.

Menurut dia, di Batang Toru, ada satu spesies orangutan dan kemungkinan besar habitat mereka terganggu.

Katarina Hardono, Corporate Communications Senior Manager G Martabe mengklaim perusahaan beroperasi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, pengembangan kapasitas dan mengutamakan keselamatan kerja. “Martabe akan menjadi standar acuan bagi G-Resources untuk menjalankan bisnis di Indonesia, juga di wilayah lain.”

Tambang emas Martabe memiliki sumberdaya 8,05 juta oz emas dan 77 juta oz perak. Penuangan emas dan perak pertama, di hadapan para pemangku kepentingan pada 24 Juli 2012. Tambang ini beroperasi penuh awal 2013, dan berhasil mencapai target produksi emas 281.477 ounce, dan perak 1.515.228 ounce.

Pemegang saham perusahaan ini G-Resources Group Ltd 95 persen, dan lima persen PT Artha Nugraha Agung– 70 persen dimiliki Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, dan 30 persen pemerintah Sumatera Utara.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/04/07/tambang-emas-g-resources-hancurkan-hutan-batang-toru/

Posted in Info, Sumatera, Sumatera Utara | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Tak Patuhi Putusan MK, Negara Rampas Hutan Adat

Tak Patuhi Putusan MK, Negara Rampas Hutan Adat

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menuding negara tak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menggugurkan kuasa negara atas hutan milik masyarakat adat dalam Undang-Undang Kehutanan. Gara-gara ketakpatuhan itu, sepanjang 2013 kasus perampasan wilayah hutan masyarakat adat oleh negara terbilang tinggi.
“Sepanjang 2013, ada 143 kasus perampasan tanah dan pengusiran masyarakat adat di Indonesia,” kata Abdon dalam konferensi pers “Catatan Awal Tahun AMAN” di Jakarta, Senin, 27 Januari 2014.

Menurut Abdon, sebanyak 143 kasus itu sebetulnya bukanlah jumlah kasus yang sebenarnya. Banyak lagi kasus perampasan dan pengusiran terhadap masyarakat adat yang tak tercatat karena masyarakat adat tersebut belum bisa mendokumentasikan kasus yang menimpa mereka.

“Kadang mereka kerap SMS atau telepon kami. Tapi mereka tak punya catatan sendiri,” kata Abdon.

Berdasarkan data AMAN, setidaknya 1.2045 kepala keluarga dan 6.261 jiwa tanahnya dirampas dan diusir. Pelakunya adalah perusahaan swasta, pemerintah daerah, Kementerian Kehutanan, bupati, aparat desa, warga pendatang, dam PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Adapun beberapa masyarakat adat yang diusir itu antara lain Friyen/ Wawiyai (Raja Ampat), Ba’tan (Palopo), Dayak Punan (Kalimantan Timur), dan Komunitas Rio Sanglap (Riau).

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/01/27/206548898/Tak-Patuhi-Putusan-MK-Negara-Rampas-Hutan-Adat

Posted in Global, Info | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Walhi: Jelang Pemilu Izin Pengelolaan Hutan Melonjak Drastis

Walhi menyebutkan, penambahan jumlah perizinan terhadap pengelolaan sumber daya alam, terutama hutan, meningkat pada tahun politik 2014. Hal ini diduga kuat memiliki hubungan erat antara transaksi sumber daya alam dengan kebutuhan ongkos politik pemenangan pemilu.

“Walhi memiliki data perizinan yang dikeluarkan pemerintah terhadap empat model perizinan pengelolaan atau eksploitasi sumber daya alam terutama hutan sejak pemilu 2009,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar, Walhi Eksekutif Nasional, Zenzi Suhadi di Bengkulu, Minggu (30/3/2014).

Ia menyebutkan empat model perizinan tersebut yakni izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan, izin pengelolaan hutan untuk kawasan perkebunan, izin hutan tanaman industri, dan Hak Pengelolaan Hutan (HPH).

Untuk pinjam pakai kawasan hutan menjadi pertambangan, data Walhi menyebutkan pada tahun 2008 mencapai 38 ribu hektare. Angka ini melonjak menjadi 63 ribu hektare pada 2009.

Sementara itu, untuk perkebunan termasuk kelapa sawit, kakao dan sebagainya, izin pelepasan dikeluarkan pemerintah pada tahun 2007 hanya 73 ribu hektare, pada tahun 2008 menjadi 83 ribu hektare lalu mengalami lonjakan signifikan pada pemilu 2009 mencapai 228 ribu hektare.

Selanjutnya untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mengeluarkan realisasi di tahun 2007 untuk 41 perusahaan dengan luas lahan 174 ribu hektare, tahun 2008 menjadi 10 perusahaan dengan luas lahan 546 ribu hektare, selanjutnya pada tahun 2009 menjadi 44 perusahaan dengan total luas lahan 1,6 juta hektare.

Terkait izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH), pada tahun 2007 ada 18 perusahaan dengan luasan lahan 673 ribu hektare. Lalu pada 2008 naik menjadi 22 perusahaan dengan luas lahan 1,4 juta hektare. Selanjutnya, pada 2009, terjadi lonjakan pengeluaran izin untuk 34 perusahaan terealisasi dengan total luas lahan 3,1 juta hektare.

“Walhi mensinyalir ada proses konsolidasi antara pengusaha dan pemerintah sehingga terjadi transaksi perizinan kawasan hutan dengan ongkos pemenangan pemilu,” tegas dia.

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/03/30/1639489/Walhi.Jelang.Pemilu.Izin.Pengelolaan.Hutan.Melonjak.Drastis

Posted in Info, Sumatera, Sumatera Utara | Tagged , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba

Kayu hutan dan kayu kemenyan sehabis ditebang. KIni, yang terlihat hanya kayu eukaliptus. Foto: Ayat S Karokaro

PADA Sabtu akhir Februari 2013, beberapa petani kemenyan Desa Pandumaan-Sipituhuta melihat karyawan PT Toba Pulp Lestari masuk kawasan sengketa tombak (hutan) di Dolok Ginjang. Para karyawan, dengan alat berat, menebang kemenyan dan hendak menanami daerah itu dengan eukaliptus. Warga protes namun karyawan bilang mereka hanya menjalankan perintah atasan.

Keesokan hari, sesudah ibadah Minggu, warga datang lebih banyak lagi. Mereka minta penebangan dihentikan. Bentrokan hampir terjadi. Kalah jumlah, warga desa pulang ke kampung. Suasana tegang.

Hari ketiga, Senin, 25 Februari 2013, pagi hari, sekitar 250 warga Pandumaan-Sipituhuta pergi ke tombak Dolok Ginjang. Kali ini sudah ada Brimob berjaga. Ada alat berat. Ada sekitar 20 pekerja TPL tengah menanam eukaliptus. Juga terdengar suara chainsaw mengaung-aung. Tiba-tiba, truk TPL pengangkut bibit dan pupuk terbakar.

Polisi curiga truk itu dibakar warga. Ada enam warga yang baru pulang dari kebun ditangkap, dimasukkan truk lalu dibawa ke kantor Polisi Resort Humbang Hasundutan. Warga lain protes. Mereka anggap polisi bertindak semena-mena.

Lewat tengah malam, di Desa Pandumaan-Sipituhuta, lonceng gereja kecil, Gereja Pantekosta di Indonesia, berdentang kuat. Teng … teng … teng …. Ia tanda peringatan berkumpul. Menurut beberapa warga, malam itu pasukan Brimob masuk desa dan menendang pintu-pintu rumah. Kapolres Humbang Hasundutan AKBP Heri Sulismono memimpin pengepungan. Rumah didobrak, lemari dirusak.

Polisi mengatakan mereka hendak menangkap pendeta Haposan Sinambela, gembala jemaat gereja Pantekosta, dan James Sinambela, tokoh masyarakat Pandumaan-Sipituhuta juga ketua dewan adat daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. Mereka dituduh sebagai “provokator.”

Tak pelak anak-anak, yang kala itu lelap tidur, bangun terkejut dan menjerit. Suasana menakutkan kala mereka lihat ibu-ibu diseret dan dimasukkan ke sebuah rumah.

Polisi mendobrak pintu dapur rumah James Sinambela. Kamar dan lemari pakaian diacak-acak.

Umak, umak … jahat kalian polisi. Jangan pukul umak kami,” kata Jesika Sinambela, anak James umur enam tahun, ketika melihat ibunya dibawa polisi.

Rumah ini jadi saksi bisu saat puluhan perempuan di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Humbahas disekap oleh Brimob yang menangkapi warga yang protes perusakan hutan adat. Foto: Ayat S Karokaro

Saat itu, James Sinambela berada di kebun, sekitar dua kilometer dari rumah. Dia memiliki peternakan babi. “Dapat kabar Brimob masuk kampung, saya pulang. Saya melihat perempuan, anak-anak menjerit,” katanya. Ketiga anaknya, Posma Sinambela (12), Marudut Sinambela (10), dan Jesika Sinambela, berteriak ketakutan. “Saya dibilang berondok di dalam lemari. Mereka hancurkan lemari rumah kami,” kata James.

Boru Pandiangan, salah satu perempuan desa, bercerita diseret ke sebuah rumah dengan puluhan perempuan lain. Bajunya robek. Dia menolak dan dipukul. “Aku berteriak minta ampun. Anak-anak di desa berteriak menangis, menyaksikan ibu, nenek, kakek, dan saudara mereka ditendang dan ditangkapi Brimob.”

Brimob juga mendobrak rumah Friska, seorang bapak dengan kaki cacat, yang sedang tidur. Kamar tidur hancur, warung dirusak. Barang jualan dijarah. Dari warung Friska, sempat terdengar letusan senjata api. Di sana ditemukan selongsong peluru.

Lambok Lumban Gaol, anggota AMAN Tano Batak, melihat sekitar 30 lebih perempuan disekap di satu rumah selama lebih dari empat jam. Ibu-ibu berteriak minta tolong. Mereka berdoa bersama.

“Lindungi kami Tuhanku.”

“Selamatkan warga kampung.”

Ketika polisi sudah pergi, warga kampung membuka rumah dengan merusak gembok.

Malam itu, 15 warga ditangkap polisi, termasuk James Sinambela, pendeta Haposan Sinambela, maupun si pembunyi lonceng gereja. Mereka mendekam di tahanan polisi bersama belasan warga desa yang ditangkap di hutan kemenyan. Total 31 orang ditahan polisi.

Keseokan hari 15 warga dibebaskan, 16 menjadi tersangka termasuk Haposan Sinambela dan James Sinambela.

Dalam tahanan, pendeta Haposan Sinambela tidur beralaskan tikar usang selama 11 hari. Khutbah tetap dijalankan di dalam penjara. Makanan dari polisi tak pernah disentuh. Warga desa setiap hari memasak dan membawakan makanan ke penjara. Ini solidaritas dari seluruh warga desa.

”Kami yang ditangkap bisa tetap sehat dan makanan layak.”

James Sinambela mengatakan, “Saya dua minggu dipenjara. Di dalam saya diteror, diancam dihabisi dan diminta menyerah. Saya dan pendeta dituduh sebagai provokator.” Dia tak mau menandatangani berita acara pemeriksaan polisi.

Selama mereka ditahan, warga desa terus berunjuk rasa ke kantor polisi Humbang Hasundutan. Desakan juga datang dari berbagai organisasi. Pada 11 Maret 2013, para tahanan dilepas, tetapi status mereka masih tersangka hingga kini.

Kapolres AKBP Heri Sulismono mengatakan polisi semata-mata membantu menciptakan rasa aman perusahaan dalam bekerja dan berusaha. “Bukan menakut-nakuti siapa pun. Dalam praktik, personel keamanan justru pernah dianiaya dan dilucuti senjata oleh massa,” katanya.

“Kami mengajak semua pihak tidak melanggar UU atau melanggar pidana. Silakan menyampaikan pendapat, tetapi dengan cara baik dan santun, bukan menjadi terbalik dan menimbulkan masalah baru. Yang ada bukan penyelesaian, tetapi masalah baru.”

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13) Mereka meminta pengembalian tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat tinggal dan hutan mereka turun menurun. Mereka juga meminta pembebasan 16 warga yang ditangkap polisi. Foto: Sapariah Saturi

Sampai sekarang belum jelas siapa membakar truk pembawa bibit dan pupuk. Heri Sulismono mengatakan penyelidikan masih dilakukan. Beberapa warga curiga perusahaan bakar sendiri satu mobil sebagai alasan agar Brimob bisa intimidasi warga. Haposan Sinambela mengatakan,  enam warga yang dituduh membakar mobil perusahaan, saat kejadian tengah makan malam dalam hutan adat.

“Saat melepaskan warga desa yang akan menjaga hutan adat, kami mendoakan kawan-kawan. Saya berpesan jangan anarkis. Belum sampai mereka ke hutan adat, sudah ada kabar pembakaran,” katanya. Dia tak percaya keenam warga itu membakar mobil.

Mau Silumbanbatu, seorang warga yang ditangkap dan dipukul polisi di desa malam itu, beberapa bulan setelah dibebaskan meninggal dunia. Dia tampak mengalami trauma.

 

DARI Desa Pandumaan-Sipituhuta, naik mobil menuju “hutan tanaman industri” PT Toba Pulp Lestari, makan waktu sekitar dua jam. Di sepanjang jalan, terlihat traktor dan truk-truk besar berisi kayu ukuran besar lalu lalang. Pohon eukaliptus rapi tertanam.

Di pintu masuk penjagaan, mobil diberhentikan petugas keamanan perusahaan.

Lao tu dia ho?” kata seorang sekuriti. Tiga pria lain berjaga-jaga.

Nang mangalap dongan sian bagasan,” jawab seorang warga.

Sekuriti lantas mengecek barang-barang di mobil. “Jangan bawa barang-barang berbahaya dan mencurigakan,” katanya.

Dia terus mengawasi. Mobil dipersilakan jalan.

Sekitar lima menit masuk hutan, tampak hamparan tanah rata, tanpa pepohonan. Hanya ada tunggul kayu sisa tebangan. Tampak kayu-kayu tebangan siap diangkut. Begitu juga kala memasuki Register 41, wilayah hutan kemenyan. Tunggul bekas pohon kemenyan dan pepohonan lain di sana sini. Kemenyan nyaris habis berganti eukaliptus.

TABEL KECAMATAN

Sebelum TPL beroperasi di Register 14, suasana benar-benar berbeda. Menurut Lambok Lumban Gaol, warga desa yang juga anggota AMAN Tano Batak, dulu jika masuk hutan kemenyan, terasa sejuk dan segar. Kicau burung bersahut-sahutan. Tak jarang warga melihat beruang. Dulu, air jernih mengalir di sungai kecil. Kini, panas gersang. Tak ada kicau burung. Banyak ranting-ranting kayu berserakan dan bekas tebangan kayu. Sungai kecil mengering. Kering kerontang.

Riwayat berbagai hutan, serta perubahan menjadi perkebunan eukaliptus, di sekitar Danau Toba termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan, terkait dengan riwayat seorang pengusaha asal Belawan, dekat Medan. Namanya, Tan Kang Hoo atau Sukanto Tanoto. Dia kelahiran 1949, anak pertama dari tujuh bersaudara, dari sepasang migran asal Fujian, Tiongkok. Pada 1966, ketika umur 17 tahun, Tanoto berhenti sekolah dan ikut usaha keluarga, supplier onderdil mobil ke berbagai perusahaan minyak dan gas di Medan.

Pada 1973, ketika umur 24 tahun, Tanoto mendirikan perusahaan PT Raja Garuda Mas untuk produksi plywood. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis?” katanya. Dia menyakinkan pemerintah Indonesia agar memberi izin bikin pabrik plywood. Dia berhasil dengan pabrik itu. Meningkatnya produksi plywood membuat Tanoto merasa perlu bikin perkebunan eukaliptus.

Pada 26 April 1983, Tanoto mendirikan PT Inti Indorayon Utama. Usahanya, perkebunan eukaliptus guna bikin pulp, kertas, dan rayon. Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution setuju Tanoto bangun pabrik seluas 200 hektar di Porsea, sebuah kota Kabupaten Toba Samosir. Mereka dapat izin hak pengusahaan hutan seluas 150.000 hektar.

Namun PT Inti Indorayon Utama dituduh merampas tanah adat. Ia juga diprotes warga sekitar Danau Toba karena mencemari tanah dan air danau dengan limbah. Sungai Asahan, yang membelah Porsea, juga tercemar limbah. Pada 7 Oktober 1987, longsor menewaskan 15 orang. Longsor kedua menimpa Desa Natumingka, 16 km dari longsor pertama, 15 orang tewas.

Pada 9 Agustus 1988, penampungan air limbah Indorayon jebol ketika diadakan uji produksi. Diperkirakan sejuta meter kubik limbah mencemari Sungai Asahan. Pada Desember 1988,

Walhi mengadukan Indorayon di pengadilan Jakarta. Walhi minta izin perusahaan dinyatakan batal. Pada Agustus 1989, gugatan itu ditolak pengadilan.

Dulu air anak sungai di kawasan hutan adat masuk dalam Register 41 ini jernih dan luas. Sekarang,  mengecil dan tampak kotor. Foto: Ayat S Karokaro

Tanoto sendiri menaruh beberapa pejabat, termasuk Mayor Jenderal August Marpaung, sebagai komisaris Indorayon. Marpaung pernah memimpin Antara dan jadi dutabesar Indonesia untuk Australia. Tanoto juga berhubungan dengan Presiden Soeharto. Pabrik dan perkebunan pun berjalan lancar.

Pada Mei 1998, Presiden Soeharto, mundur sesudah berkuasa selama 33 tahun. Berbagai demonstrasi menuntut demokratisasi, reformasi dan penegakan hukum marak di Jawa, Sumatera maupun pulau lain. Struktur kekuasaan di Indonesia berubah. Tanoto kehilangan pelindung. Pada 9 Juni 1998, Gubernur Raja Inal Siregar memerintahkan operasi Indorayon berhenti setelah warta Porsea bersama ribuan mahasiswa di Medan unjuk rasa ke DPRD Sumatera Utara.

Pada 1999, zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf akhirnya minta pabrik Indorayon ditutup. Namun Sony Keraf bukan berjuang tanpa hambatan. Menteri Perdagangan Jusuf Kalla membantah ada polusi dari pabrik Indorayon.

Selama dua tahun, terjadi tarik-menarik antara kubu Sukanto Tanoto dan warga Toba. Pada 12 Juni 2000, seorang mahasiswa ditembak mati polisi dalam protes anti-Indorayon.

Sukanto Tanoto terus mengembangkan bisnis. Dia bikin perkebunan di Riau serta bank di Jakarta. Dia pribadi pindah domisili dari Indonesia ke Singapura. Menurut website Tanoto, kini dia menguasai tujuh usaha multinasional: Royal Golden Eagle (pulp); Asian Agri (sawit); April (kertas dengan kegiatan di Riau); Asia Symbol (pulp dan kertas di Shandong dan Guangdong, Tiongkok); Apical Group (pabrik sawit); Sateri (kertas dan pulp di Brazil); serta Pacific Oil & Gas (minyak dan gas di Indonesia dan Tiongkok).

Pada 2008, majalah Forbes menyatakan Sukanto Tanoto sebagai orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan US$2.8 miliar. Kala itu, dia berusia 59 tahun ketika dinobatkan sebagai orang terkaya. Artinya, bila dihitung dari umur 17 tahun mulai bisnis, Tanoto perlu waktu 42 tahun buat jadi orang terkaya di Indonesia.

Alat berat yang digunakan menggusur hutan kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro

Menurut website Tanoto, kini Royal Golden Eagle, payung usaha miliknya, punya asset US$15 miliar dengan 50.000 karyawan.

Di Danau Toba, nasib Indorayon berubah ketika mereka ganti nama jadi PT Toba Pulp Lestari pada 2001. Nama Indorayon tampaknya sulit dipertahankan. Toba Pulp Lestari diam-diam operasi lagi dari Porsea zaman kepresidenan Megawati Soekarnoputri.

Angin berubah terbuka ketika Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden pada akhir 2004. Pada 2005, Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan surat pembagian kawasan hutan di Sumatera Utara. Indorayon melanjutkan kerja mereka namun tampil dengan nama baru Toba Pulp Lestari. Menurut MS Kaban, wilayah hutan perusahaan ini termasuk beberapa kabupaten: Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, dan Tapanuli Selatan serta Humbang Hasundutan.

Pada 2009, atau 11 tahun sesudah  Indorayon  ditutup, sengketa tanah kembali meledak. Kini, warga Desa Pandumaan-Sipituhuta yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, mulai perlawanan terhadap perusahaan lama dengan nama baru ini.

Setelah Menteri Kehutanan MS Kaban bikin perusahaan masuk, kayu alam ditebang termasuk kemenyan. Kemenyan mati, getah berkurang. “Jikapun hidup, getah berkurang, tak bisa dikelola. Itu sangat berpengaruh terhadap pencarian warga dan alam sekitar,” kata pendeta Haposan Sinambela.

Sesaat dia terdiam. Merenung.

Kemenyan di hutan itu, katanya, sudah dikelola turun temurun. Jadi, semacam ada perjanjian dengan para leluhur, masyarakat adat harus tetap menjaga hutan. Getah kemenyan rutin disadap tanpa merusak pohon. Hutan tetap lestari.

“Hutan kemenyan tak boleh dirusak, jika terjadi, bencana alam akan terjadi. Itu sebab kami selalu menjaga, meski darah taruhan,” kata pendeta.

Menurut James Sinambela, perusahaan Sukanto Tanoto berupaya ambil hati warga dengan beri sejumlah uang. “Waktu mau kasih uang, saya tegaskan sama perusahaan, jika ini tanah negara melalui SK Menteri Kehutanan, mana mungkin menyuap rakyat demi merusak dan membabat hutan?” Sinambela menolak uang.

Dia memilih tetap berjuang mempertahankan hutan adat.

“Ini bukan untuk mencari kaya. Hanya tambahan ekonomi keluarga agar bisa sekolah dan makan,” kata James Sinambela.

Pagi hari di tengah hutan konsesi PT TPL. Foto: Ayat S Karokaro

 

DEDY SOFHIAN Armaya seorang mantan wartawan di Medan, alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, yang tampaknya semangat mendukung kemerdekaan Palestina –Facebook miliknya dihiasi “Free Palestina”—dan kini jadi juru bicara Toba Pulp Lestari. Istilah resminya, corporate communication.

Armaya menerangkan semua konsesiToba Pulp Lestari  ada di kawasan hutan dengan wewenang Kementerian Kehutanan. “Wargalah yang melakukan cara-cara kekerasan guna mendapatkan pengakuan lahan.”

Menurut dia, sebenarnya tersedia cara-cara damai dalam menyampaikan keberatan. Misal, melalui surat-menyurat kepada Kementerian Kehutanan. “Atau menempuh jalur hukum melalui peradilan. UU dan peraturan membuka ruang untuk itu. Klaim masyarakat dimungkinkan jadi dasar mengeluarkan areal dari konsesi atau enclave apabila memenuhi syarat.”

Armaya menuduh warga desa tak menggunakan mekanisme damai itu. Warga lebih memilih unjuk rasa, pelarangan-kerja di lapangan, intimidasi pekerja, perusakan tanaman, sampai pembakaran alat-alat kerja.

Perusahaan pun meminta pengamanan dari polisi.

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13). Mereka protes penangkapan warga yang menuntut tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat hidup secara turun menurun . Foto: Sapariah Saturi

Dia mengatakan tak percaya dengan klaim hutan adat. Desa Pandumaan dan Sipituhuta, katanya, bagian dari 10 desa di sekitar konsesi Toba Pulp Lestari di Sektor Tele, masuk Kecamatan Pollung. “Mereka mengklaim blok-blok kerja Toba Pulp Lestari sebagai hutan ulayat mereka, yang jaraknya dari kampung, mencapai 12 kilometer jika diambil garis lurus. Desa-desa lebih dekat, justru tidak mengklaim serupa.”

Masyarakat desa yang lain mau bekerja sama. Mereka bahkan minta pembukaan jalan agar mobilitas mereka ke pohon-pohon kemenyan jadi mudah.

Perusahaan,  katanya, hanya membangun hutan tanaman industri 40 persen atau sekitar 75 ribu hektar dari konsesi. Sebenarnya,  peraturan mengizinkan sampai 70 persen. “Kebijakan itu untuk menyediakan porsi lebih luas bagi kawasan lindung.”

Dedy Armaya adalah satu dari 50.000 karyawan Sukanto Tanoto. Berkedudukan di Medan, Armaya mungkin kenal Vincentius Amin Susanto, seorang akuntan Tanoto, dulu juga berkantor di Medan, yang membocorkan berbagai cara penggelapan pajak Asian Agri. Vincent membeberkan  rahasia itu ke majalah Tempo pada Desember 2006 sedemikian rupa hingga laporan Tempo mendorong kantor pajak mengejar Asian Agri.

Persidangan terhadap karyawan Asian Agri, gugatan terhadap Vincent, maupun berbagai macam upaya mempengaruhi media, bahkan membeli wartawan, memakan waktu bertahun-tahun. Metta Dharmasaputra, wartawan Tempo, menulis naik turun itu dalam buku Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group. Pada akhir 2012, Mahkamah Agung memutus Asian Agri divonis bayar dua kali pajak terhutang Rp1,259 triliun hingga total sebesar Rp2,519 triliun. Ia rekor tertinggi dalam sejarah penetapan pajak di Indonesia.

Mengapa hutan kemenyan di Register 41 ditebangi?

Dedy Armaya mengelak. Dia mengatakan perusahaan berjanji tak menebang pohon-pohon kehidupan seperti kemenyan. “Ini sumber penghasilan non-kayu bagi masyarakat sekitar hutan,” katanya.

Inilah kawasan Register 41, dulu tempat hidup kemenyan dan pohon-pohon lain. Kini bersih....Foto: Ayat S Karokaro

 

SALAH SATU organisasi yang memperhatikan  Toba Pulp Lestari adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara, biasa disingkat Bakumsu, terletak di daerah Jalan Air Bersih, Kota Medan. Ia terletak dekat Kampus Universitas Muhammadiyah.

Saurlin Siagian dari Bakumsu termasuk peneliti yang ragu dengan berbagai keterangan perusahaan ini. Lewat Facebook, Siagian menaruh gambar satu ream kertas merk Paper One, produk PT Toba Pulp Lestari, dan ditulisnya keterangan, “It destroys natural forests, endemic forests, and violates human rights and Batak indigenous people at Sumatra-Indonesia.”

Siagian ingat bahwa pada 2010, sebelum dapatkan izin operasi  di Desa Pandumaan-Sipituhuta, ada tim independen dari Jakarta TPL. PT Sucofindo, sebuah perusahaan negara, salah satu lembaga penilaian. Saurlin Siagian diundang bicara tentang hutan kemenyan. Pertemuan itu juga dihadiri Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), organisasi asal Siborong-borong, Tapanuli Utara, yang mendampingi warga Toba melawan Indorayon, sejak 1980an. Kini KSPPM bermarkas di Parapat, Danau Toba. Kesimpulannya, menurut Siagian, tak boleh ada penebangan hutan kemenyan di Kecamatan Pollung termasuk Desa Pandumaan-Sipituhuta.

Kesimpulan ini ternyata tak diindahkan. Dalam rencana kerja Toba Pulp Lestari 2011, penebangan hutan tetap ada di Kecamatan Pollung.

“Saya berpikir tidak ada gunanya lembaga sertifikasi seperti Sucofindo,” kata Siagian.

Gubuk ini biasa buat menjual makanan bagi petani kemenyan yang akan menuju ke hutan menderes kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro

Warga tentu menolak Toba Pulp Lestari menebangi hutan kemenyan yang sudah dikelola 13 generasi. Warga membatalkan perjanjian kerja sama dengan perusahana karena merugikan warga. Mereka tak mengerti teknis dan detail perjanjian.

“Eukaliptus tentu bukan bidang warga desa, hingga perhitungan perhitungan yang dibuat Toba Pulp Lestari ternyata merugikan warga.”

Perusahaan tak peduli. Sejak 2009, pohon kemenyan ditebangi tanpa persetujuan warga. Konflik tak terelakkan. Bentrok aparat dan warga terjadi.

Menurut data Bakumsu, antara 2000 dan 2012, lebih dari 50 orang ditangkap polisi. “Peristiwa ini tidak pernah terjadi sebelum kehadiran TPL. Desa-desa di pinggir hutan ini aman dan damai.”

 

MINGGU AWAL Januari 2014, Desa Pandumaan-Sipituhuta, terasa sejuk dan berkabut. Suhu sekitar 16 derajat Celcius. Warga desa mulai bekerja. Ada yang bersiap ke hutan kemenyan. Ada berangkat ke sawah.

Kebanyakan laki-laki dewasa bekerja sebagai petani kemenyan. Setiap Senin, mereka berangkat ke tombak dan tinggal untuk menoreh getah atau manige. Mereka membawa persediaan makan dan minum buat di hutan. Di sana, warga tidur dan istirahat di pondok. Mereka pulang ke desa pada Kamis, Jumat atau Sabtu. Pada hari-hari itu, di desa kebanyakan perempuan dan anak-anak.

“Sekarang, tak terlalu dingin. Dulu, pukul 06.00, kita harus pakai sarung tangan dan selimut tebal. Sekarang hutan sudah habis diganti eukaliptus, ” kata Lambok Lumban Gaol.

Tak mudah perjalanan menuju hutan Kemenyan. Dari perkampungan menuju tepian hutan memerlukan sekitar satu jam. Belum lagi, masuk ke dalam, biasa perlu waktu antara enam hingga tujuh jam. Melewati rawa, dan jurang terjal.

“Kalau masyarakat tak sayang hutan, pasti membuat jalan lebar yang bisa dipakai menaiki sepeda motor. Itu tidak dilakukan. Mereka memilih jalan ke hutan selama enam hingga tujuh jam, asal hutan tidak rusak,” katanya.

Desa Pandumaan kala pagi tiba, anak-anak bermain riang di tengah ancaman hutan, ruang hidup  mereka yang terus  TPL. Foto:  Ayat S Karokaro

Menurut penelitian AMAN, luas tombak haminjon atau hutan kemenyan sekitar 4.100 hektar. Ia berisi tanaman kemenyan budidaya beserta tanaman lain. Warga desa Pandumaan dan Sipituhuta diperkirakan bekerja di hutan ini sejak 300 tahun lalu.

Dalam adat Batak, setiap generasi ada tingkatnya. Sinambela pangkat sekian atau Lumban Gaol pangkat sekian. Mudah buat mereka menghitung berapa generasi sudah tinggal di suatu tempat.

Tombak Haminjon berada di tiga area masing-masing bernama Tombak Sipiturura, Dolok Ginjang, dan Lombang Nabagas. Marga-marga awal, yang membuka perkampungan dan hutan kemenyan, terdiri dari marga turunan Marbun: Lumban Batu hingga sekarang sudah 13 generasi dan Lumban Gaol ada 13 generasi. Borubus sebagai marga boru yakni Nainggolan dan Pandiangan sudah 13 generasi. Lalu, keturunan Siraja Oloan, yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang, masing-masing 13 generasi. Ditambah marga pendatang, yakni Munthe dan Situmorang, selama tiga generasi sudah tinggal di dua desa itu.

Komunitas inilah yang membuka perkampungan dan kawasan tombak haminjon ini. Mereka mewariskan turun-temurun hukum adat. Batas-batas kepemilikan komunitas dua desa ini juga ditentukan sesuai kebiasaan atau hukum adat.

Letak kedua desa, Pandumaan-Sipituhuta, bersebelahan. Luasnya, sekitar 6.500 hektar terbagi atas 2.400 hektar wilayah desa, 4.100 hektar hutan kemenyan. Masyarakat adat di dua desa, total 700 keluarga, mayoritas mencari nafkah dari tombak haminjon.

Kini, hutan adat mereka masuk dalam konsesi  Toba Pulp Lestari. Berbagai upaya dilakukan masyarakat, mengadukan persoalan dari kabupaten sampai Jakarta.

Anggota AMAN Tanobatak menunjukkan tanda kayu eukaliptus yang ditanam di konsesi  TPL. Foto:  Ayat S Karokaro

Pada 5 Agustus 2011, Dewan Kehutanan Nasional (DKN), sebuah lembaga negara yang menjadi forum komunikasi pemerintah, pengusaha maupun organisasi pembela masyarakat sekitar hutan, merekomendasikan agar desa Pandumaan dan Sipituhuta dikeluarkan dari konsesi Toba Pulp Lestari.

Ia juga sesuai keputusan DPRD Humbang Hasundutan pada 2012 tentang Toba Pulp Lestari.

Menurut Bangun Silaban, ketua DPRD Humbang Hasundutan, dewan telah bertemu masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Permasalahannya pelik. Banyak pertimbangan. “Intinya, sebagai wakil rakyat yang dipilih langsung rakyat, dewan wajib membela yang benar.”

Pada 19 Juni 2012, DPRD Humbang Hasudutan minta pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan mencabut atau merevisi SK Menteri Kehutanan MS Kaban No. 44 tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan wilayah Sumatera Utara.

Rekomendasi lain, mengusulkan kepada Menteri Kehutanan revisi batas areal kerja usaha pemanfaatan hasil hutan  Toba Pulp Lestari di Humbang Hasundutan. Keputusan ini, berdasarkan hasil pengukuran bersama antara pemerintah kabupaten, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta masyarakat.

DPRD Humbang Hasundutan juga merekomendasikan pemerintah Humbang Hasudutan sementara waktu melarang  Toba Pulp Lestari operasi di lahan bermasalah sampai ada keputusan bersama. “Kami harap ada solusi menyelesaikan masalah ini agar tidak berlarut-larut. “Sudah dua tahun berjalan belum juga ada titik temu,” kata Silaban.

Bupati Maddin Sihombing, birokrat dari Partai Golongan Karya, segera menyurati Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, yang menggantikan posisi M.S. Kaban pada periode kedua Presiden Yudhoyono, untuk mengeluarkan dua desa itu dari konsesi perusahaan.

Peta Desa Pandumaan-Sipituhuta dan Hutan Kemenyan. Sumber: AMAN

Persoalannya, menurut Sihombing, izin konsesi hutan ada di tangan Kementerian Kehutanan, hingga seorang bupati tak bisa berbuat banyak. Begitu juga soal penghentian kegiatan  Toba Pulp Lestari.

“Silakan tanya ke Menhut soal itu. Yang jelas kami sudah melaksanakan berbagai cara menyelesaikan masalah ini, ” kata Sihombing.

Mungkin dalam bayangan Maddin Sihombing, dia hanya seorang birokrat, politikus dengan modal kecil, tak sanggup membela warga, kala berhadapan dengan  taipan internasional sekelas Sukanto Tanoto.

 

PADA September 2013, 10  warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, diantar oleh AMAN, datang ke kantor Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di bilangan Senayan, Jakarta. Kementerian ini termasuk kementerian gemuk sejak zaman Presiden Soeharto. Nama gedungnya, Manggala Wanabakti, bersebelahan dengan gedung Dewan Perwakilan Rakyat.

“Harapan kami memperjuangkan tanah adat hanya untuk melanjutkan hidup. Hidup sederhana bukan hidup bermewah – mewah,” kata Rusmedia Lumban Gaol.

Dia datang bersama sembilan wakil warga Pandumaan Sipituhuta ke Jakarta. Bagi mereka tak mudah datang ke Jakarta. Mereka iuran Rp10.000 per keluarga dari sekitar 700 keluarga dari dua desa itu.

Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan dari Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono menerima delegasi. Hendroyono alumnus Institut Pertanian Bogor. Dia belajar kehutanan ketika mahasiswa dan merintis karir di Kementerian Kehutanan.

Dalam pertemuan itu,  Hendroyono juga mengundang wakil pemerintah Humbang Hasundutan dan manajemen  Toba Pulp Lestari.

“Kita kumpul cari solusi. Saya ingin dengar dan bahas mengenai kemitraan. Mari kepala dingin,” kata Hendroyono.

Dari warga, tak satupun yang mau membahas kemitraan. Tujuan mereka bulat: kembalikan hutan adat, hutan kemenyan mereka.

Rusmedia Lumban Gaol (nomor tiga dari kiri), bersama sebagian warga Pandumaan Sipituhuta yang ikut pertemuan di Kemenhut, Senin (2/9/13). Foto: Sapariah Saturi

Rusmedia Lumban Gaol kukuh. “Kami tidak ingin jadi budak kalau hak tanah adat kami diambil. Lebih baik kami makan rumput asal jangan jadi budak TPL.” James Sinambela meminta pemerintah mengeluarkan hutan kemenyan dari konsesi  Toba Pulp Lestari. “Tolong bapak revisi izin yang Bapak berikan agar tak ada bentrokan Toba Pulp Lestari dan masyarakat.”

Namun, kemitraan seakan sudah agenda mati Hendroyono. Pemerintah telah memberikan izin kepada  Toba Pulp Lestari. Dia merasa wajib menjaga kelangsungan investasi ini. “Kita berbicara dalam konteks hutan produksi. Soal kelestarian hutan itu tanggung jawab perusahaan sebagai pemegang izin. Untuk kelangsungan usaha, itu tanggung jawab pemerintah.”

“Jaminan hukum diberikan pemerintah,  dibuktikan dengan waktu usaha HTI bisa 60 tahun. Jaminan lain kepastian perusahaan bisa menjalan usaha.”

Hendroyono tahu ada rekomendasi Dewan Kehutanan Nasional dan DPRD Humbang Hasudutan. “Surat dari DKN dan bupati itu hanya kita pegang sebagai referensi.  Tidak kita pertimbangkan.”

Saat ini, katanya, solusi terbaik yakni kemitraan. Pola kemitraan, katanya, tinggal sosialisasi kepada masyarakat, agar mereka tak terpengaruh LSM. “LSM mestinya membantu Kemenhut menenangkan masyarakat. DKN juga harusnya seperti itu. Jangan ngotot-ngototan terus. Lihat aturan.”

Dia mengacu pada UU Kehutanan Pasal 67, yang mengisyaratkan  keberadaan masyarakat adat lewat peraturan daerah. “Pemerintah juga tidak diam. Kita terus memacu dan membahas ini.”

Kalaupun tidak ada peraturan daerah, katanya, masyarakat diminta bersabar karena rancangan UU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, masih dibahas. “Itu akan dijadikan dasar dan solusi ke depan. Jangan ribut-ribut, terus memecah belah. Kawasan hutan tetap kawasan hutan. Ada disitu hutan adat, hutan negara, ayo sama-sama dikelola.”

Sejauh mata memandang, bibit muda kayu eukaliptus tampak tumbuh menghijau. kayu hutan dan kayu kemenyan dibabat habis. Foto: Ayat S Karokaro

Kala itu, keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai hutan adat bukan bagian hutan negara, baru keluar. Dialog dengan masyarakat diwarnai berbagai perdebatan. Masyarakat adat berpegang teguh tetap ingin mengelola hutan berdasarkan konsep hutan adat.

Hendroyono mengatakan keputusan itu belum bisa dijalankan. Kementerian Kehutanan tak bisa begitu saja cabut izin. “Apa dasar saya nyabut? Kami punya azas keberlangsungan usaha. Kami harus menjamin hukum disitu. Izin sudah keluarkan, mereka memenuhi syarat. Maka kami harus juga menjamin keberlangsungan usaha mereka.”

Bagaimana soal Toba Pulp Lestari yang terlanjur menebang pohon kemenyan warga?

“Itu kemenyan dari zaman nenek moyang. Maaf kata, bukan membela perusahaan. Banyak yang sudah turun produksi. Kalau ada LSM yang membela, ayo kita lihat ke lapangan. Mana kemenyan? Saya sudah lihat langsung.”

“Itu kemenyan sudah tua. Kalau pun perusahaan menebang, itu perusahaan tidak salah. Karena kemenyan itu produksi juga sudah menurun. Mustinya yang sudah ya sudahlah.”

Tampaknya, Bambang Hendroyono lupa bahwa pemerintah Indonesia, termasuk Kementerian Kehutanan, juga wajib melindungi hak-hak warga negara, termasuk desa Pandumaan dan Sipituhuta.

Celakanya, Bupati Maddin Sihombing ikut mendorong program kemitraan yang digadang-gadang Hendroyono.

Hendroyono pergi ke Medan. Ada pertemuan dengan Gubernur, Polda, Polres Humbang Hasudutan, Dinas Kehutanan, perwakilan masyarakat, dan  Toba Pulp Lestari. Hasilnya, kesepakatan membentuk kemitraan antara perusahaan. Masyarakat memperoleh kesempatan mengambil hasil hutan non-kayu, dan operasional perusahaan membangun HTI bisa jalan.

Bupati Maddin Sihombing anggap solusi itu kompromi yang bisa diterima. “Itu harus dijalankan. Ada dua desa tidak setuju, Pandumaan dan Sipituhuta. Ini masih terus diupayakan agar sama-sama tidak dirugikan,” ucap Sihombing.

Menurut Heppy Silitonga, kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Humbang Hasundutan, dalam pertemuan soal kemitraan antara 10 warga desa dengan perusahaan. Hasilnya, delapan desa setuju kemitraan. Ada dua desa tak setuju. Mereka bertahan.

Delapan desa yang setuju termasuk desa Pansur Batu, Aek Nauli I, Aek Nauli II, Hutajulu, Hutapaung, Simataniari, Habinsaran dan Sionam Hudon Timur. Dua desa tetap bertahan di lahan hutan adat: Desa Pandumaan dan Sipituhuta. “Nah, inilah yang terus bergejolak dan konflik.”

Aksi pemuda dan mahasiswa di Medan, Sumut, protes aksi perusakan hutan oleh TPL dan penetapan tersangka warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, yang tak dicabut hingga kini. Foto: Ayat S Karokaro

Menurut Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, aturan memungkinkan jika sejarah keberadaan masyarakat adat jelas. Dua desa bisa dikeluarkan dari konsesi. “Kita akan lihat kasusnya dengan jernih dan sistem yang ada berjalan.”

Namun, hingga kini, kementerian terkesan memaksakan penyelesaian lewat pola kemitraan. Setidaknya, posisi Bambang Henroyono, yang jadi posisi kementerian.

 

SEJARAH mungkin terulang kembali. Dulu Inti Indorayon Utama dilawan dari Siborong-borong lalu ke Medan dan Jakarta. Persoalan Toba Pulp Lestari juga merembet ke Jakarta.

Andiko Sutan Mancahyo, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) juga anggota Dewan Kehutanan Nasional, heran dengan paksaan kemitraan Bambang Hendroyono.

Rekomendasi DKN ada tiga skenario. Pertama, ada daerah dilepaskan dari kawasan hutan karena tumpang tindih dengan hutan adat masyarakat. Kedua, yang dilepaskan dari izin karena wilayah masyarakat adat. Jadi, kedua hal itu izin bukan di kawasan  yang seharusnya, jadi harus dikurangi. Ketiga, izin keluar di kawasan produksi hingga harus dipotong.

Andiko tak mengerti mengapa tiga skenario itu tak diperhitungkan. “Itu masalahnya yang saya juga tidak mengerti. Mestinya di atas kertas itu gampang diselesaikan. Ada pilihan-pilihan kok di situ. Tapi Kemenhut kan menginginkan semua dimitrakan.”

Kemitraan tak bisa dipaksakan seperti itu. Kondisi ini, katanya, tak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat ekonomi juga soal magis religius masyarakat di sana. Masyarakat adat, memandang hutan kemenyan itu tidak hanya dalam konteks ekonomi, juga nilai budaya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengirim orang ke Pandumaan dan Sipituhuta. Komnas HAM minta Kementerian Kehutanan melihat bukan sekadar kontrak tapi persoalan lebih mendasar. “Bahwa hak masyarakat atas wilayah adat itu hak asasi yang tak bisa diperlakukan seperti mobil yang bisa gonta ganti,” kata Sandra Moniaga dari Komnas HAM.

Kondisi di Register 41. Hutan gundul terbabat habis...Foto: Ayat S Karokaro

Moniaga heran karena DKN sudah rekomendasi agar kedua desa dikeluarkan dari konsesi tapi tak digubris. “Rekomendasi DKN itu sangat sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Tapi kan gak dijalanin Kemenhut.”

Menurut Moniaga, ketika datang ke Humbang Hasundutan, masyarakat tak punya gambaran lengkap tentang konsesi Toba Pulp Lestari. Seharusnya,  ada proses dimana areal Toba Pulp Lestari dibuka ke publik lalu dibuat agenda konsultasi per desa dan ada verifikasi wilayah.

“Apakah ini di wilayah adat atau nggak? Kalau ada di wilayah adat,  ya harus ada kesepakatan. Kalau masyarakat gak mau ya harusnya keluar. Kalau mereka setuju kemitraan, ya silakan kemitraan. Setiap masyarakat kan pandangan berbeda-beda.”

Martua Sirait, peneliti dari International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan juga anggota DKN, merasa konflik sulit teratasi karena Kementerian Kehutanan jadi mediator penyelesaian sengketa atas kesalahan sendiri. “Pembenahan tata kelola hutan harus meninggalkan conflict of interest Kemenhut itu sendiri,” katanya.

Menurut Sirait, sengketa Toba Pulp Lestari merupakan salah satu contoh nyata izin kepada perusahaan diberikan pada kawasan hutan yang baru ditunjuk dan belum ditetapkan. “Sampai saat ini belum selesai tata batasnya.”

Pemerintah, katanya, memberikan izin pada tanah tanah produktif masyarakat, berupa budidaya kemenyan yang sudah berlangsung 300 tahun.

Abdon Nababan, sekretaris jenderal AMAN, menilai konflik terjadi karena keputusan Menteri Kehutanan MS Kabar tahun 2005. “Itu hutan masih penunjukan, belum dikukuhkan. Tapi di atas kawasan hutan itu dikeluarkan izin konsesi HTI untuk TPL. Akhirnya, konflik berkepanjangan.”

Kementerian Kehutanan salah tafsir soal UU Kehutanan. Ini diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 yang jelas menerangkan bahwa kawasan hutan masih penunjukan belum mempunyai status hukum tetap. Jadi, tak boleh keluar izin apapun sebelum tata batas selesai.

“TPL salah satu contoh penunjukan kawasan hutan dan langsung diberikan izin yang bermasalah. Bukan hanya bermasalah dari segi hukum tapi bermasalah dengan masyarakat adat,  pemimpin wilayah itu.”

Bagaimanapun, hutan adat harus ada kejelasan. Jika tidak, gejolak akan terus terjadi. Kini, di Pandumaan-Sipituhuta, konflik masih terbuka, bara masih menyala.

Sejarah Sukanto Tanoto dengan Indorayon mungkin akan terulang lagi dengan Toba Pulp Lestari. Tanoto ada di Singapura, sementara warga desa di Humbang Hasundutan,  kesusahan,  karena hutan kemenyan mereka dibikin hancur.

 

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/04/01/kemelut-hutan-kemenyan-menguak-luka-warga-di-tepian-danau-toba/

Posted in Info, Sumatera, Sumatera Utara | Tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment